Universitas Airlangga (Unair) kembali mengukuhkan empat guru besar pada Kamis (8/10/2020). Pada momen tersebut, Prof Diah Ariani Arimbi SS MA PhD dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) menjadi salah satu dosen yang berhasil menaiki mimbar orasi pengukuhan guru besar Unair.
Dikukuhkan sebagai guru besar bidang Ilmu Kajian Budaya dan Gender, Prof Diah dalam orasinya menyerukan perlawanan terhadap stereotip dan konstruksi jender yang merugikan, khususnya pada perempuan.
Guru besar aktif ke-2 FIB tersebut menyoroti bagaimana kehadiran perempuan masih sebatas dilihat pada fisiknya. Padahal, sebagai manusia, perempuan juga memiliki kehadiran mental, sosial, budaya, dan identitas yang harusnya dihormati oleh masyarakat.
“Oleh karena itu, perjuangan menuju kesetaraan jender masih begitu panjang,” kata lulusan S-2 English Language and Literature, University of Northern Iowa, Amerika Serikat, tersebut.
Dalam cita-cita Sustainable Development Goals (SDGs) 2015–2030, Prof Diah menerangkan bahwa perempuan masih rentan mengalami marginalisasi akibat praktik pernikahan anak, catcalling, body shaming, bullying, maupun personal ridicule (ejekan yang bersifat personal). Oleh karena itu, perempuan kini masih menjadi sosok minor yang terombang-ambing dalam pusaran budaya.
Sementara itu, pada konstruksi identitas kultural, Prof Diah mengambil contoh pada perubahan standar kecantikan Indonesia yang nyatanya mendorong pada homogenisasi perempuan. “Dahulu, dalam Kitab Kakawin Arjunawijaya, kecantikan perempuan digambarkan pada mereka yang bertangan panjang, rambut hitam bergelombang, dan warna kulit kuning layaknya kunyit,” terang guru besar ke-502 Unair tersebut.
Namun, standar kecantikan kini telah berubah mengikuti arus masuknya budaya-budaya asing. Mereka yang berkulit putih, berambut lurus, bertumbuh langsing, berhidung mancung kini dianggap sebagai satu-satunya standar representasi kecantikan perempuan. Oleh karena itu, perempuan kini seolah terdoktrin dan terhomogenisasi pada identitas tertentu yang urung mencerminkan kepribadiannya.
Lulusan S-3 Women and Gender Studies, University New South Wales, Australia, itu bahkan turut menyoroti kasus Tara Basro yang dipidanakan akibat posting-annya yang mempertontonkan bentuk tubuhnya sendiri. Padahal, posting-an tersebut merupakan pesan bagi perempuan untuk lebih mencintai bentuk tubuhnya serta mengampanyekan penolakan terhadap body shaming.
Lebih jauh, Prof Diah juga berharap agar kesetaraan jender, baik bagi laki-laki maupun perempuan, dapat berjalan melintasi ruang, waktu, wilayah, maupun budaya.
“Saya memimpikan berbagai wajah perempuan Indonesia dengan berbagai warna dan rupa. Meski perjuangan kita masih panjang, saya berterima kasih kepada pejuang jender yang menyuarakan kesetaraan dan hak-hak perempuan di antara masyarakat,” pungkasnya. [*]