Rektor Universitas Airlangga (Unair) kembali mengukuhkan empat guru besar baru pada Kamis (8/10/2020) di Aula Garuda Mukti Kampus C Unair. Untuk tahun ini, pengukuhan empat guru besar yang berasal dari empat keilmuan berbeda itu dilaksanakan secara daring melalui akun resmi YouTube UNAIR.
Keempat guru besar tersebut adalah Prof Dr Sri Puji Astuti Wahyuningsih MSi dan Prof Dr Suryani Dyah Astuti SSi MSi dari Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Prof Dr Ahmad Yusuf Saiun SKp MKes dari Fakultas Keperawatan (FKp), serta Prof Diah Ariani Arimbi SS MA PhD dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB).
Dalam pengukuhan guru besar tersebut, tercatat Unair telah memiliki guru besar aktif sebanyak 211 orang. Sementara sejak berdiri pada 1954, Unair telah melahirkan guru besar sebanyak 503 orang.
Dengan adanya empat guru besar yang baru dikukuhkan, Prof Nasih optimistis untuk membuat Unair bergerak lebih maju lagi. Prof Nasih juga berharap para guru besar bisa menyumbangkan energi secara optimal sehingga mampu memperkuat upaya-upaya yang dilakukan oleh Unair.
Ke depan, sambung Prof Nasih, diharapkan UNAIR terus mengembangkan keunggulannya di bidang riset. Ia mengungkapkan, keunggulan suatu riset tidak berhenti hanya pada sebuah kata-kata, tetapi juga ditentukan atas kebermaknaan terhadap apa pun yang dilakukan.
“Riset yang excellent adalah riset yang bermakna, riset yang memiliki value dan memberikan kebermanfaatan, baik bagi diri pribadi maupun bagi masyarakat,” jelas Prof Nasih.
Pengembangan model holistik perawatan pasien gangguan jiwa
Dalam orasi ilmiahnya, Prof Yusuf menjelaskan bahwa gangguan jiwa yang paling menonjol adalah gangguan perilaku, gangguan pikiran, dan gangguan perasaan yang kemudian diikuti oleh gejala-gejala fisik. Ketika gejala-gejala fisik seperti gangguan tidur atau gangguan makan menyebabkan gangguan fungsi pekerjaan, hal ini dapat memunculkan gangguan jiwa pada seseorang.
“Rata-rata orang mengalami gangguan jiwa setelah mereka mengalami gangguan fungsi pekerjaan,” ucap Guru Besar kelahiran 1967 tersebut.
Ada dua kelompok gangguan jiwa, yakni gangguan mental emosional dan gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa itu sendiri sangat berdampak pada bidang ekonomi. Hal tersebut dikarenakan orang dengan gangguan jiwa tidak dapat melakukan kegiatan secara produktif.
Untuk mengatasi gangguan mental emosional, sambung Prof Yusuf, tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menguatkan meaning of life agar orang tidak mudah cemas, tidak mudah marah, dan lain sebagainya.
“Oleh karena itu, perlu juga mengembangkan penguatan spiritual. Adapun nilai-nilai spiritualitas yang telah kami teliti adalah syukur, sabar, dan ikhlas,” tambahnya.
Prof Yusuf menyatakan jika masalah kesehatan jiwa tidak hanya masalah pasien, tetapi juga masalah keluarga, kelompok, dan masyarakat. Maka dari itu, perlu adanya pengembangan model holistik yang tidak hanya memandang urusan fisik (biologis), tetapi juga urusan psikologis, sosial, spiritual, dan kultural.
“Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah gangguan jiwa harus komprehensif, melibatkan semua pihak, lintas sektor, dan lintas program,” imbuhnya.
Manfaatkan fotodinamik sebagai inovasi medis
Dalam pidatonya, Prof Suryani menguraikan inovasi pengembangan instrumen medis berbasis fotonik untuk terapi antimikroba dan biomodulasi yang merupakan metode alternatif untuk mengatasi infeksi biofilm pada penyakit kronis.
Ia mengatakan, terapi fotodinamik merupakan suatu metode yang digunakan untuk menghilangkan suatu sel yang berbahaya seperti mikroba, kanker, dan penyakit infeksi. Inovasi tersebut dengan kombinasi cahaya, fotosensitiser, dan oksigen akan menyebabkan fotoinaktivasi pada bakteri.
“Yaitu penghambatan aktivitas metabolisme sel karena kerusakan membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif,” kata Guru Besar aktif ke-14 Fakultas Sains dan Teknologi tersebut.
Menurut Prof Dyah, fotosensitisasi sebagai salah satu kombinasi merupakan proses penyerapan cahaya oleh molekul fotosensitiser yang selanjutnya mengaktivasi terjadinya reaksi kimia menghasilkan berbagai spesies oksigen reaktif. Menurut guru besar kelahiran Klaten tersebut, fotosensitisasi bergantung pada jenis dan konsentrasi dari porfirin yang berperan sebagai molekul penyerap cahaya.
“Kepekaan terhadap cahaya ini terutama berkaitan dengan panjang gelombang cahaya yang dipaparkan. Kebanyakan porfirin memiliki serapan pada daerah sinar tampak (400–700 nano meter),” kata guru besar bidang biofisika tersebut.
Selain itu, Prof Dyah juga menjelaskan, adanya fotosensitiser berukuran nano (10-9 m) dapat meningkatkan persentase serapan energi, sehingga lebih efektif menghasilkan ROS (reactive oxgen species). Dari hal tersebut, diketahui hasil penelitian menunjukkan bahwa silver nano particle (AgNPs) efektif untuk meningkatkan reduksi biofilm bakteri.
Potensi nutrasetikal dalam pencegahan stres oksidatif
Dalam orasinya, Prof Sri mengatakan bahwa radikal bebas terbentuk karena aktivitas metabolik. Adanya radikal bebas dalam bentuk oksigen reaktif memiliki sifat pengikatan terhadap asam deoksiribonukleat (ADN). Hal tersebut juga dapat menyebabkan autooksidasi atau peroksidasi lipid dan dapat mengaktivasi kematian sel terprogram.
“Semakin banyak radikal bebas masuk dalam tubuh, maka semakin banyak pula sel imun yang rusak,” jelasnya.
Radikal bebas dapat mengganggu fungsi sel sehingga fungsi sel menjadi tidak normal. Hal tersebut menurunkan sistem pertahanan tubuh menurun sehingga tubuh menjadi lemah dan mudah sakit. Selain itu, radikal bebas bisa memicu terbentuknya sel-sel baru abnormal sebagai pemicu tumor maupun kanker.
Prof Sri menjelaskan bahwa okra mengandung flavonoid, quercetin, lutein, zeaxanthine, dan vitamin C. Vitamin C pada okra dalam jumlah yang tinggi memiliki aktivitas scavenger yang dapat mengurangi radikal bebas.
“Okra juga mengandung polisakarida yang berpotensi untuk memodulasi fungsi imun melalui aktivasi sel imun,” jelasnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ekstrak metanol polong okra memiliki aktivitas hepatoprotektif dengan indikator biokimia serum. Ekstrak okra juga dapat memulihkan jaringan hati yang rusak menjadi normal.
Serukan perlawanan terhadap stereotip dan homogenisasi perempuan
Selanjutnya, Prof Diah dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dalam orasinya menyerukan perlawanan terhadap stereotip dan konstruksi jender yang merugikan, khususnya pada perempuan.
Guru besar aktif ke-2 FIB tersebut menyoroti bagaimana kehadiran perempuan masih sebatas dilihat pada fisiknya. Padahal, sebagai manusia, perempuan juga memiliki kehadiran mental, sosial, budaya, dan identitas yang harusnya dihormati oleh masyarakat.
“Oleh karena itu, perjuangan menuju kesetaraan jender masih begitu panjang,” kata lulusan S-2 English Language and Literature, University of Northern Iowa, Amerika Serikat, tersebut.
Lebih jauh, Prof Diah juga berharap agar kesetaraan jender, baik bagi laki-laki maupun perempuan, dapat berjalan melintasi ruang, waktu, wilayah, maupun budaya.
“Saya memimpikan berbagai wajah perempuan Indonesia dengan berbagai warna dan rupa. Meski perjuangan kita masih panjang, saya berterima kasih kepada pejuang jender yang menyuarakan kesetaraan dan hak-hak perempuan di antara masyarakat,” pungkasnya. [*]