Perkembangan instrumentasi tidak lagi diragukan. Penggunaannya telah sampai di seluruh aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang kesehatan. Diketahui telah banyak penggunaan alat medis yang memanfaatkan sensor sebagai salah satu instrumen yang digunakan.
Pada umumnya, deteksi komponen dalam sampel cairan biologi (darah atau urine) yang dilakukan di laboratorium klinik patologi dengan menggunakan teknik kolorimteri atau menggunakan test kit. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu jenis instrumentasi atau produk test kit tertentu, kalangan peneliti telah banyak mengembangkan metode lain.
Salah satu contohnya, Dr Miratul Khasanah MSi, dosen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (FST Unair) beserta tim, yang telah mengembangkan sensor potensiometri untuk mendeteksi kandungan kreatinin dalam darah sebagai indikator terjadinya gagal ginjal. Sensor tersebut merupakan hasil perkembangan dari penelitian sebelumnya, yaitu sensor untuk deteksi asam urat. Seperti kita ketahui bahwa kandungan kreatinin dalam darah biasanya digunakan sebagai indikator fungsi ginjal.
“Di bidang medis, deteksi kreatinin dalam serum darah biasanya menggunakan teknik fotometri yang membutuhkan pereaksi kimia atau enzim yang berharga mahal. Selain itu, diperlukan volume sampel yang relatif besar karena metoda yang digunakan memiliki limit deteksi yang relatif tinggi yaitu dlm kisaran mg/dL,” ungkap Mira.
Dosen yang memiliki fokus penelitian di bidang kimia analitik tersebut melanjutkan, pihaknya ingin mengembangkan metode yang sederhana, dengan peralatan yang sederhana pula. Dengan demikian bisa mengurangi ketergantungan terhadap suatu instrumen tertentu.
Oleh sebab itu, sejak 2016, Mira bersama tim telah mengembangkan sensor potensiometri untuk deteksi komponen dalam darah, di antaranya asam urat, kreatinin, dan glukosa.
Memanfaatkan zeolit
Mira menuturkan, selama ini metode deteksi kreatinin dalam bidang medis dilakukan menggunakan metode kolorimetri, yang untuk pendeteksian membutuhkan pereaksi kimia tertentu atau menggunakan enzim.
“Kalau menggunakan enzim memang selektif dan bahkan spesifik, tapi harganya tidak murah. Sedangkan deteksi kreatinin dengan potensiometri, peralatan yang digunakan sangat sederhana, yaitu potensiometer/ion meter seperti yang umum digunakan untuk mengukur pH larutan, dilengkapi dengan suatu sensor berupa elektroda yang dibuat dari bahan dasar berupa karbon,” tutur dosen yang penelitiannya banyak di bidang elektronalisis tersebut.
Sensor elektrometri, sambungnya, kemampuan menyensornya sangat dipengaruhi konduktivitas bahan sehingga memerlukan material yang konduktif. Karbon memiliki sifat tersebut. Untuk meningkatkan selektivitas sensor, dibuatlah suatu imprint (cetakan) agar sensor hanya sesuai untuk kreatinin.
Oleh sebab itu, dalam hal ini material yang digunakan sebagai bahan pembuatan sensor adalah campuran serbuk karbon dan imprinted zeolit. Zeolit dipilih karena merupakan material yang mudah dimodifikasi dalam hal ukuran pori dan pembentukan cetakan. Di samping itu, zeolit merupakan salah satu material yang memiliki konduktivitas listrik yang bagus sehingga akan meningkatkan sinyal analisis.
Mira menjelaskan, molekul kreatinin dijebakkan saat sintesis zeolit, kemudian molekul tersebut diekstraksi dari kerangka zeolit sehingga menghasilkan suatu cetakan. Cetakan ini hanya akan cocok dengan bahan yang telah dicetakkan (kreatinin). Dengan demikian, sensor tersebut bersifat selektif dan deteksi terhadap kadar kreatinin dalam sampel tidak diganggu oleh keberadaan komponen lain dalam sampel darah.
Bentuk sederhana
Sensor yang telah dikembangkan pada 2017–2018 tersebut memiliki bentuk yang sangat sederhana dan melalui cara pembuatan yang sangat mudah. Yakni, serbuk karbon dan serbuk zeolit dicampur dengan lilin/wax, kemudian dipanaskan sampai meleleh.
Setelah itu dimasukkan ke wadah atau kemasan berupa sedotan, tube isi bolpoin, atau sejenisnya. Sebagai penghubung antara sensor dengan sumber listrik disematkan kawat perak atau tembaga dan dibantu dengan penjepit buaya untuk menyambungkannya dengan kabel.
“Sebagai badan sensor biasanya kami menggunakan tip mikropipet karena bentuknya seperti corong, sehingga lebih mudah memasukkan pasta campuran karbon, zeolit, dan lilinnya. Sebenarnya bisa juga menggunakan sedotan atau tube tempat tinta pada bolpoin,” tambahnya.
Hasil uji coba
Menurut Mira, uji coba telah dilakukan terhadap sampel serum darah, biasanya memanfaatkan sampel darah milik mahasiswa, yang pengambilannya dilakukan di laboratorium klinik dan sekaligus dianalisiskan di laboratorium tersebut sebagai uji perbandingan. Kemudian sebagian sampel tersebut dianalisis di laboratorium kimia secara potensiometri menggunakan sensor yang telah dikembangkan.
Dari hasil pengujian di laboratorium kimia, diperoleh data bahwa sensor tersebut menunjukkan rentang konsentrasi yang lebar dan limit deteksi sekitar 100 kali lebih rendah dibandingkan dengan metode kolorimetri, dengan tingkat akurasi sekitar 95–97 persen. Limit deteksi yang rendah ini berdampak pada kecilnya volume sampel serum yang diperlukan, yaitu cukup dengan 100 mikroliter serum. Selain itu, juga sangat cocok untuk analisis rutin dengan jumlah sampel yang banyak.
Waktu respons sensor juga sangat cepat, yaitu 35-40 detik. Sensor memiliki stabilitas yang tinggi yang ditunjukkan dengan life time sekitar 10 minggu dengan 190 kali pemakaian. Sehingga deteksi kreatinin dengan cara ini sangat ekonomis.
Dengan adanya alat tersebut, Mira berharap banyak dikembangkan sensor serupa terutama untuk deteksi kandungan senyawa lain di dalam cairan tubuh, deteksi senyawa obat, atau pemantauan kadar senyawa tertentu di bidang industri pangan, farmasi, pertanian, dan lain-lain.
“Membayangkan kalau bisa dikembangkan sensor serupa maka salah satunya akan bisa membantu badan pengawas obat dan makanan dalam mengontrol produk-produk obat dengan biaya yang tidak harus mahal,” pungkasnya. [*]