Dua belas hari usai gempa berkekuatan 6,2 magnitudo mengguncang Mamuju dan Majene pada Jumat (15/1/2021) dini hari. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperpanjang masa tanggap darurat selama 2 pekan hingga Kamis (11/2/21).
Berdasarkan keterangan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), 35 gempa susulan terjadi hingga Senin (25/1), memberikan dampak tersendiri bagi para pengungsi terutama bagi anak-anak. Untuk memastikan keadaan psikis anak-anak di pengungsian, tim relawan Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) mengadakan trauma healing yang dilakukan sejak Senin (25/1) di pengungsian Desa Salutambung, Malunda.
Teguh Wahyu Utomo, salah satu relawan, mengatakan, kegiatan dilakukan di sana berdasarkan rekomendasi dari Puskesmas Salutambung karena terdapat 60 kepala keluarga (KK) yang tidak mau turun dari bukit.
Kegiatan trauma healing yang dilakukan dalam tenda 5 x 5 meter milik RS Pratama itu, diawali dengan memberikan ice breaking kepada 23 anak. Ice breaking yang diberikan Afin Murtiningsih SPsi sebagai penilaian awal kondisi trauma psikis yang dialami anak-anak.
“Setelah ice breaking, Afin melakukan sugesti bareng dengan cara anak-anak menepuk pundak temannya di sebelah kanan sambil mengucapkan kata-kata penguat. Antara lain, ‘Hai, kawan. Kita harus bersabar, bersyukur, dan bergembira’,” ujar lulusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga itu.
Setelah memberikan sugesti, Teguh mulai melakukan asesmen awal tentang trauma untuk mengetahui apakah anak-anak memang trauma sehingga perlu tindakan lebih lanjut; atau sekadar kaget/takut sesaat yang tak lama kemudian bakal lewat dan terlupakan.
Dalam menilai kondisi anak-anak, trainer motivasional di MEP Training Center tersebut meminta anak-anak untuk menulis. Namun, karena banyak yang masih balita, akhirnya menggambar saja. Anak-anak diminta untuk menggambar apa yang akan dilakukan setelah dibolehkan pulang.
“Jika tidak mau menggambar, padahal bisa menggambar, kemungkinan besar ia takut pulang atau trauma gempa. Jika mau menggambar, saya lihat hasilnya dan saya tanyai mengapa menggambar itu. Jika yang digambar hal-hal tak wajar, saya follow-up dengan pertanyaan untuk menilai kondisi mentalnya bagaimana,” ujarnya.
Hasilnya, sambungnya, semua mau menggambar dan yang digambarkan adalah hal-hal yang normal. Misalnya, menggambar anak bermain di rumah, buah jeruk, sepeda, dan lain-lain. Saat dilakukan follow-up, kebanyakan anak-anak ingin kembali bermain di rumah dan tidak takut kembali ke rumah.
Selain dilakukan bersama anak-anak, kegiatan trauma healing tersebut juga dilakukan bersama orangtua mereka. Untuk orangtua, dilakukan asesmen dengan cara menyapa, bertanya keadaan, sambil melihat ekspresi wajah dan tingkah laku. Asesmen dilakukan dari tenda ke tenda, tetapi tidak semuanya, hanya diambil sampling keluarga yang diduga tak mau turun bukit.
Dengan kegiatan tersebut, Teguh berharap anak-anak tetap bergembira dan bersemangat tinggi saat sudah kembali ke rumah masing-masing. Dengan suasana hati seperti itu, mereka akan lebih bebas dari stres atau tekanan mental karena bencana gempa.
“Kami berharap pihak berwenang mencabut kondisi darurat sesuai dengan keadaan yang semestinya. Jika kondisi darurat dicabut, anak-anak bisa kembali hidup dalam kondisi normal di rumah masing-masing. Lebih senang lagi jika rumah mereka masing-masing sudah diperbaiki,” pungkasnya. (*)