Tim medik Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (FKH Unair) terjun ke lokasi paus terdampar di Pantai Modung, Bangkalan, Madura, Jumat (19/2/2021). Tim yang terdiri atas 2 dosen FKH yaitu drh Bilqisthi Ari Putra dan drh Happy Ferdiansyah berangkat dari Surabaya pada pukul 7 pagi dan sampai di lokasi sekitar pukul 10 pagi.
Ketua lapangan tim FKH Unair Bilqisthi menjelaskan, total terdapat 52 paus yang terdampar. Ketika pertama kali ditemukan nelayan, 49 paus telah mati, dan 3 di antaranya hidup. Namun, dari 3 yang hidup, 2 di antaranya mati ketika berupaya diselamatkan sehingga hanya tersisa 1 yang hidup dan bisa dikembalikan ke laut.
“Jenis paus yang terdampar tersebut adalah paus short fin pilot whale (paus pilot sirip pendek),” lanjutnya.
Ketika pertama kali sampai di lokasi, tim dibagi menjadi dua, yaitu tim antemortem dan postmortem. Tim antemortem berfokus pada paus yang masih hidup, yaitu melakukan penyelamatan dan pemantauan kesehatan terhadap paus yang masih hidup.
Tim postmortem berfokus pada paus yang sudah mati, yaitu melakukan identifikasi jenis kelamin, ukuran, dan usia. Setelah melakukan identifikasi, kemudian dilakukan seleksi untuk memilih paus yang paling dominan untuk dijadikan sebagai bahan otopsi.
Tidak semua paus dapat diidentifikasi karena disebabkan arus laut yang cukup kencang dan ketinggian air. Dari 49 paus yang mati, 34 paus dapat diidentifikasi oleh tim FKM. Sementara itu, 3 dari paus yang dapat teridentifikasi tersebut kemudian dilakukan pemeriksaan otopsi,
“3 paus yang diotopsi, 2 di antaranya jantan dan satu lainnya betina,” jelas Bilqisthi.
Pemilihan paus untuk dilakukan otopsi dilakukan dengan pertimbangan ukuran dan kondisi. Paus yang dipilih untuk diotopsi adalah yang paling besar dengan asumsi bahwa paus tersebut adalah ketua koloni dengan panjang 5,5 meter dan berjenis kelamin jantan.
Sementara itu, paus betina yang dipilih adalah yang berukuran paling besar dengan panjang 3,5 meter. Paus yang dipilih juga dipastikan dalam kondisi tidak busuk, masih baik untuk dilakukan otopsi.
“Otopsi baru dapat dilakukan pada pukul 5 sore dengan dibantu pengamanan dari polsek, koramil, dan pengurus desa setempat,” terangnya.
Bantuan tersebut tidak hanya berupa bantuan pengamanan masyarakat. Namun juga bantuan penyediaan peralatan serta keperluan lain yang diperlukan untuk otopsi. Otopsi memakan waktu kurang lebih 4,5 jam.
Tim FKH juga mengambil beberapa sampel untuk pemeriksaan patologi di laboratorium FKH Unair. Pemeriksaan patologi tersebut dimaksudkan untuk mengetahui penyebab pasti terdamparnya 52 paus tersebut.
“Dugaan awal masih belum bisa kami pastikan karena ketika kita lihat tidak ada gangguan sonar pada paus, dugaan aktivitas vulkanik bawah laut juga tidak. Jadi, perlu kami dalami melalui pemeriksaan patologi,” terang Bilqisthi.
Tim juga mempertimbangkan faktor alam karena sebelum kejadian tersebut sempat terjadi puting beliung di Selat Madura. Namun, dugaan tersebut sebagai penyebab peristiwa terdampar paus masih didiskusikan dengan menunggu hasil lab.
Menurut Bilqisthi, paus short fin pilot whale hidup berkelompok. Ketika bermigrasi, kelompok tersebut akan mengikuti ketua koloninya. Apabila ketua koloni mati, secara hierarki, akan digantikan secara otomatis oleh pejantan yang lebih tua di bawah ketua koloni yang telah mati. Namun, jika ketua koloni sakit dan belum mati, kelompok paus akan tetap mengikuti ketua koloni tersebut.
Selain tim medik, terdapat enam relawan mahasiswa FKH Unair yang juga ikut terjun ke lapangan untuk membantu. Di antaranya Ramadhanty T, Yustisiane Ruth R, Ary Setya Hernanda, Akmal K Ishak, Agus Arisma, dan Shafira R Ruyani.
Tim ahli Unair yang dibantu mahasiswa selalu berusaha mengungkap fenomena alam dan lingkungan untuk menemukan solusi atas persoalan serupa pada kemudian hari. Simak aktivitas keilmuan lainnya di unair.ac.id.