Tidak dapat dimungkiri, sumber daya alam Indonesia sangatlah beragam terutama sumber daya yang berasal dari perairan. Udang Vanamei menjadi salah satu komoditas ekspor yang terus meningkat setiap tahunnya.
Namun, dalam pembudidayaannya, udang vanamei membutuhkan perhatian khusus, terutama kualitas air tambak. Selama ini, para petani tambak udang vanamei melakukan pengukuran kualitas air tambak menggunakan teknik pengukuran parameter kualitas air secara konvensional.
Oleh karena itu, Andi Hamim Zaidan MSi PhD bersama tim Lembaga Ilmu Hayati Teknik dan Rekayasa Universitas Airlangga (LIHTR Unair) mengembangkan teknik baru pengukuran kualitas air manfaatkan teknologi hiperspektral untuk budidaya tambak udang vanamei bekerja sama dengan PT Surya Windu Kartika dari Banyuwangi.
“Kami menawarkan solusi yang lebih praktis dan jauh lebih mudah murah, juga lebih baik sehingga nanti, mereka (para petani tambak, Red) bisa melakukan praktis budi daya udang vanamei lebih baik. Teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil panen persiklusnya,” tutur dosen Fisika Unair tersebut pada Kamis (15/4/21).
Zaidan, sapaan akrabnya, menuturkan bahwa dalam pengembangan teknologinya, selain membuat sistem hiperspektral, memanfaatkan satelit milik Amerika dan Eropa, yakni Landsat dan Sentinel. Satelit-satelit tersebut digunakan sebagai surveillance untuk melihat kondisi tambak dan sekitarnya.
Bahkan, data perairan seluruh Indonesia 10 tahun terakhir telah dipetakan dan dianalisis, sambungnya. Data tersebut digunakan untuk mengetahui area perairan mana yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tambak udang vannamei.
“Oleh karena itu, nanti kalau ada pengusaha untuk berminat membuka tambak baru, kita bisa memberikan data strategis lokasi-lokasi mana di Indonesia yang bisa dibuka untuk tambak udang vanamei,” tambah dosen Fisika itu.
Zaidan mengungkapkan bahwa dalam riset tersebut dikembangkan teknologi big data dan artificial intelligence sehingga data, baik dari satelit maupun sistem hiperspektral yang dikembangkan, dapat diolah dan bisa didapatkan data-data strategis sesuai dengan kebutuhan.
Dalam pengolahan data, untuk mendapatkan parameter-parameter yang dibutuhkan, dipilih kombinasi panjang gelombang dari satelit dan sistem hiperspektral yang dikembangkan. Kemudian dibuat satu algoritma untuk mendapatkan parameter-parameter yang dibutuhkan. Seperti distribusi dan kuantitas fitoplankton, potensi penyakit, dan nutrien, baik yang ada di tambak maupun di perairan sekitar tambak.
Untuk mengetahui akurasi teknologi baru ini, informasi yang didapat dibandingkan dengan pengukuran di lapangan. Dari riset yang dilakukan, didapatkan hasil yang sangat baik.
Zaidan mengungkapkan salah satu kelemahan surveillance dengan satelit adalah panjang gelombang yang tersedia terbatas. Selain itu, resolusinya kurang baik. Dengan begitu, tim LIHTR sedang mengembangkan teknologi yang dapat menangkap dari 300 hingga 315 panjang gelombang dengan resolusi yang baik.
“Namun, memang kalau device kita sendiri memang terbatas. Artinya tidak bisa seperti satelit yang bisa meng-cover seluruh dunia. Jadi, memang biasanya dipakai di tambak-tambak untuk melakukan surveillance kualitas air,” terangnya.
Dalam jangka panjang, teknologi hiperspektral nantinya akan dicoba dalam bidang medis sebagai alat diagnostik. “Selain untuk pertanian dan budi daya perairan, kami akan manfaatkan untuk aplikasi kesehatan nantinya,” pungkasnya.
Unair sebagai saah satu universitas terbaik di Indonesia berupaya keras untuk merancang teknologi yang mampu memberikan solusi. Untuk mengenal Unair lebih jauh, kunjungi unair.ac.id. (*)