Pengaplikasian kemandirian pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan peningkatan investasi minyak dan gas (migas) di Indonesia disebut Praktisi Hulu Migas sekaligus Wakil Menteri ESDM (2013-2014) Susilo Siswoutomo sampai dengan saat ini masih menghadapi banyak tantangan. Mulai tantangan teknik, sosial, politik, sampai komersial atau ekonomi.
“Memang, Indonesia memiliki banyak potensi sumber daya alam. Namun, membangun industri migas butuh investasi yang besar,” ujarnya dalam Forum Group Discussion Universitas Airlangga (FGD Unair) pada Kamis (29/4/2021) secara daring maupun luring.
Susilo menyebut Indonesia memiliki sebanyak 128 cekungan. Suatu daerah dengan endapan mineral tertentu seperti batuan sedimen yang merupakan tempat penampungan minyak bumi.
Yang belum mengalami eksplorasi sebanyak 68 cekungan. Sebanyak 20 cekungan sudah berproduksi dan 27 cekungan telah dibor dengan penemuan. Sementara itu, ada 13 cekungan yang sudah dibor tanpa penemuan.
“Pengeboran migas ini punya multi-risk dan ketidakpastian yang tinggi. Belum tentu setelah proses pengeboran pasti ada (migas). Artinya, ada potensi kebangkrutan yang tinggi pula,” sebutnya.
Saat ini proyeksi investasi dan eksplorasi migas di Indonesia mengalami pergeseran wilayah. Orientasi eksplorasi itu semakin bergerak ke wilayah bagian timur Indonesia. Hal itu turut menimbulkan berbagai tantangan baru. Mengingat sebagian besar cekungan Timur Indonesia berada di laut dalam.
“Semakin dalam (laut dalam), pembiayaan untuk investasi migas ini juga semakin besar. Kita punya uang?” katanya.
“Sementara jika dibandingkan, iklim investasi migas Indonesia cukup tertinggal. Dengan Malaysia, misalnya. Dan tergolong (Indonesia) di bawah rata-rata global, di bawah 10.4 persen,” imbuhnya.
Industri hulu migas di Indonesia menghadapi banyak tantangan.Tantangan sosial, ungkap Susilo, seperti diperlukannya dukungan pemda (pemerintah daerah), masyarakat, dan ancaman terhadap keamanan. Termasuk terkait dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bisa menghambat laju investasi.
“Untuk teknis, tantangan ini juga ada pada pergeseran orientasi wilayah eksplorasi sehingga diperlukan penanganan tertentu dan teknologi yang lebih mahal. Termasuk berupa diperlukannya lagi infrastruktur penunjang di wilayah terpencil,” jelasnya.
Dalam tataran politik, industri hulu migas juga dihadapkan pada ketidakpastian regulasi peraturan yang berubah-ubah. Penyusunan regulasi terkait migas disarankan juga harus melibatkan banyak pihak. Termasuk soal peraturan yang tumpang tindih.
“(Tantangan) dari segi isu komersial ekonomi, misalnya soal sistem perbankan nasional untuk mendukung kegiatan operasi perminyakan. Lalu akses perusahaan nasional terhadap modal. Ini juga masih terbatasnya modal pemain nasional,” ujarnya.
Terdapat pula tantangan lain yang juga membayangi industri hulu migas. Susilo mencontohkan di antaranya ketersediaan tenaga ahli nasional. Kemudian, kemampuan pemain domestik yang serba kurang sehingga kegiatan hulu migas menjadi tersendat.
Pada akhir, Susilo menyebutkan terdapat beberapa hal yang diperlukan industri hulu migas. Di antaranya, pertama, kepastian hukum. Baik kepastian hukum di tingkat pusat maupun di daerah. Kedua, percepatan persetujuan. Ketiga, dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam eksekusi kegiatan di lapangan (eksplorasi).
”Percepatan persetujuan izin sangat diperlukan sehingga proses eksplorasi dapat segera dilakukan,” katanya.
”Ketidakhadiran pemerintah dalam eksekusi di lapangan sangat diperlukan sehingga proses eksekusi di lapangan dapat berjalan lancar. Ini juga terkait dengan pembiayaan operasional yang tinggi,” imbuhnya.
Unair sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia akan selalu berkolaborasi dengan seluruh stakeholder untuk kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Untuk mengenal Unair lebih dekat klik unair.ac.id. (*)