Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Senin (11/1/2021) telah mengeluarkan izin pakai darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) untuk vaksin Sinovac. Dalam siaran pers yang dilaksanakan secara daring itu disampaikan bahwa efikasi vaksin sebesar 65,3 persen.
Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr M Atoillah Isfandiari dr MKes mengatakan, diumumkannya angka efikasi yang relatif tinggi itu dirasa cukup melegakan. Pasalnya, standar yang diberikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 50 persen sehingga paling tidak, angka efikasi yang diumukan telah melampaui.
Ato, sapaan karibnya, menjelaskan, diumumkannya angka efikasi vaksin tersebut menjadi salah satu bentuk kejujuran ilmiah sebagai upaya meyakini bahwa efikasi diperoleh melalui uji klinis yang sesuai dengan asas good clinical practice (GCP). Selain itu, diumumkannya angka efikasi vaksin juga merupakan bagian dari menjunjung tinggi kejujuran ilmiah secara bertanggung jawab.
“Kalau enggak jujur, bisa saja akan dilaporkan nilai yang lebih tinggi akan lebih tinggi. Tapi, dengan angka segitu, itu artinya bahwa aplikasi itu diperoleh secara bertanggung jawab,” ucap Ato, Rabu (13/1).
Biasanya, kata Ato, orang itu demi memuluskan agendanya akan memanipulasi data dengan angka yang lebih tinggi. Namun, dengan melaporkan nilai efikasi apa adanya, sebagaimana hasil yang diperoleh dari uji klinis, vaksin ini cukup dapat dipertanggungjawabkan.
Ato yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair menerangkan, meski nilai efikasi yang didapat jauh lebih rendah dibanding vaksin lainnya, vaksin Sinovac memiliki beberapa keunggulan. Contohnya, menggunakan platform lama yang sudah sangat dikenal produsen vaksin, yaitu inactivated virus atau virus yang dimatikan. Efek samping dari vaksin itu tercatat kurang dari 1 persen. Artinya, memiliki safety sangat tinggi.
“Beda dengan yang lain, walaupun efikasinya 90 persen, menggunakan teknologi baru yaitu mRNA. Teknologi baru di sisi lain dalam jangka pendek mungkin bisa diamati dampaknya pada saat uji klinis, jangka panjang mereka belum tahu karena ini adalah platform baru,” paparnya.
Vaksin Sinovac juga relatif mudah disimpan maupun logistiknya tidak membutuhkan cold chain atau rantai dingin yang canggih seperti vaksin Pfizer yang membutuhkan penyimpanan minus 70 derajat. Yakni, dengan disimpan di dalam kulkas biasa saja masih dapat memungkinkan.
Ato menambahkan, dikeluarkannya izin pakai darurat oleh BPOM sebagai jalan keluar ketika suatu vaksin atau obat yang baru selesai dilakukan uji klinis harus segera digunakan, baik secara komersial maupun secara program pemerintah. Hal ini dilakukan karena semakin banyak korban Covid-19 berjatuhan. Sementara itu, waktu ideal yang dibutuhkan adalah 6 bulan untuk pemantauan agar mengetahui efek samping pasca-uji klinis dilakukan.
“Jadi, uji klinis fase 3-nya sudah selesai sehingga data-data yang dicatat selama pelaksanaan uji klinis hasilnya bisa diperoleh dan dianalisis. Uji klinis sudah selesai, hanya versi pemantauan pasca ujinya itu yang kemudian kita tunggu dengan pertimbangan bahwa selama uji mulai ke-1 sampai ke-3 laporan terkait dengan keamanan dan efikasi sudah didapatkan,” tuturnya.
Bagi Ato, vaksin berbeda dengan obat. Obat untuk mengobati orang sakit, sementara vaksin untuk mencegah yang sehat agar tidak sakit. “Oleh karena itu, vaksin itu harus diberikan kepada orang yang masih sehat. Kalau sudah sakit, bukan menjadi target dari vaksin karena yang bersangkutan sementara sudah punya antibodi alami yang mungkin memang akan terdegradasi seiring waktu.”
Perihal penggunaan vaksin Sinovac, Ato mengatakan agar saat ini diprioritaskan paling tidak untuk mereka yang belum punya kekebalan sama sekali. Oleh karena itu, vaksinasi diberikan pada orang sehat, bukan orang sakit.
“Yang harus diberikan dulu, ya, tentunya yang bisa menolong dulu, dalam hal ini adalah tenaga medis. Karena analoginya tenaga medis aman dari infeksi, selanjutnya bisa lebih optimal dalam menolong orang lain, termasuk juga menolong untuk mendapatkan kekebalan,” pungkasnya.