Dalam dunia kesehatan, sejak 1990 telah dibuktikan bahwa bakteri yang menyebabkan penyakit pada manusia mampu membentuk biofilm. Biofilm adalah suatu komunitas sel bakteri yang terstruktur dan saling menempel, yang mampu melekat pada permukaan biologis maupun benda mati. Biofilm tersebut berhubungan dengan penyakit infeksi yang kronis.
Formasi tersebut menyebabkan bakteri pembuat biofilm mampu bertahan terhadap lingkungan ekstrem yang membahayakan. Secara klinis, infeksi bakteri tersebut menyebabkan adanya resistensi (penghambat) terhadap antibiotik. Hanya saja, terapi antibiotik biasanya hanya membunuh sel-sel bakteri planktonik (yang berenang-berenang di luar biofilm) sedang bakteri yang tersusun rapat dalam biofilm akan tetap hidup dan berkembang.
Dalam orasinya di acara pengukuhan guru besar Universitas Airlangga (Unair) pada Kamis (8/10/2020), Prof Dr Suryani Dyah Astuti SSi MSi menguraikan inovasi pengembangan instrumen medis berbasis fotonik untuk terapi antimikroba dan biomodulasi yang merupakan metode alternatif untuk mengatasi infeksi biofilm pada penyakit kronis.
Prof Dyah menjelaskan, terapi fotodinamik merupakan suatu metode yang digunakan untuk menghilangkan suatu sel yang berbahaya seperti mikroba, kanker, dan penyakit infeksi. Inovasi tersebut dengan kombinasi cahaya, fotosensitiser, dan oksigen akan menyebabkan fotoinaktivasi pada bakteri.
“Yaitu penghambatan aktivitas metabolisme sel karena kerusakan membran sitoplasmik akibat peroksidasi oleh oksigen reaktif,” terang Guru Besar aktif ke-14 Fakultas Sains dan Teknologi tersebut.
Menurut Prof Dyah, fotosensitisasi sebagai salah satu kombinasi merupakan proses penyerapan cahaya oleh molekul fotosensitiser yang selanjutnya mengaktivasi terjadinya reaksi kimia menghasilkan berbagai spesies oksigen reaktif. Menurut guru besar kelahiran Klaten itu, fotosensitisasi bergantung pada jenis dan konsentrasi dari porfirin yang berperan sebagai molekul penyerap cahaya.
Secara alamiah, lanjutnya, beberapa bakteri menyintesis senyawa porfirin sebagai molekul endogen fotosensitiser yang bersifat peka terhadap cahaya. Spektrum porfirin terdiri atas dua pita terpisah, muncul pada daerah ultraviolet dekat dan daerah cahaya tampak, yang menyebabkan porfirin kaya warna.
“Kepekaan terhadap cahaya ini terutama berkaitan dengan panjang gelombang cahaya yang dipaparkan. Kebanyakan porfirin memiliki serapan pada daerah sinar tampak (400–700 nanometer),” kata guru besar bidang biofisika tersebut.
Selain itu, Prof Dyah juga menjelaskan, adanya fotosensitiser berukuran nano (10-9 m) dapat meningkatkan persentase serapan energi, sehingga lebih efektif menghasilkan ROS (reactive oxgen species). Dari hal tersebut, diketahui hasil penelitian menunjukkan bahwa silver nano particle (AgNPs) efektif untuk meningkatkan reduksi biofilm bakteri.
“Sebagai contoh lain nano doxycycline adalah doxycyclin ukuran nano yang memiliki kemampuan lebih untuk penetrasi pada biofilm dan mampu menyerap energi cahaya yang lebih besar karena luasnya permukaan serapan cahaya. Penggunaan nano doxycycline pada bakteri planktonik dan biofilm menghasilkan efek reduksi yang signifikan,” jelas alumnus program Doktor Unair ini.
Prof Dyah bersama tim telah mengembangkan instrumen medis dengan berbagai produk salah satunya dentolaser biomodulasi yang dapat bermanfaat untuk proses penyembuhan luka dan akupuntur. Pengembangan tersebut dimulai dari 2007 dengan hewan uji mencit dan dikembangkan hingga menjadi produk yang telah masuk paten. [*]