Belum lama ini, jurnalis Najwa Shihab mengunggah video wawancara kursi kosong yang ditujukan kepada Menkes Terawan Agus Putranto, melalui akun Instagram dan Youtube-nya. Unggahan tersebut memancing tanggapan pro dan kontra dari masyarakat. Pasalnya, model wawancara seperti itu baru kali pertama dilakukan di Indonesia.
Merespons hal itu, pengamat dan praktisi jurnalistik dari Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), Dr Yayan Sakti Suryandaru SSos MSi memberikan tanggapan. Dari perspektif jurnalistik, dia menjelaskan bahwa wawancara dengan narasumber “gaib” itu telah melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Alasan pertama, kata Yayan, setiap kegiatan wawancara harus mendapatkan izin langsung dari pihak yang diwawancara. Ketika yang bersangkutan tidak bisa hadir, jurnalis harus menanyakan terlebih dulu atas kesediaan narasumber untuk digantikan kehadirannya dengan kursi kosong. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pencemaran nama baik apabila narasumber tidak berkenan digantikan dengan benda mati.
“Wawancara model itu seperti menghidupkan barang mati atau wawancara imajiner. Kalau Menteri Terawan memang tidak bisa datang, ya bilang saja. Jangan menggantikannya dengan kursi kosong, kecuali pihak yang bersangkutan sudah memberikan izin,” terang Yayan.
Selanjutnya, Yayan menjelaskan, dalam kegiatan wawancara harus disebutkan identitas narasumber dengan jelas. Begitu pun ketika kehadirannya diganti dengan kursi kosong. Jurnalis harus menyebutkan alasan digantinya narasumber dengan kursi kosong sesuai izin yang telah disepakati.
“Walaupun Mata Najwa sendiri termasuk dalam program talkshow, talkshow juga memiliki aturan harus memiliki identitas narasumber yang jelas,” katanya.
Ditanya perihal laporan yang dilakukan oleh salah satu relawan Jokowi Bersatu atas beredarnya video itu ke Polda Metro Jaya, Yayan mengatakan bahwa proses pelaporan tersebut salah sasaran. Menurut Yayan, setiap permasalahan yang berkaitan dengan dunia pers harus diselesaikan oleh Dewan Pers sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Tidak semua masalah harus dilaporkan ke polisi. Karena kita mengidap traumatic masa lalu pada zaman Orde Baru, semua masalah tentang dunia pers yang bertanggung jawab untuk menangani adalah Dewan Pers,” ujarnya.
Terkait pasal UU ITE tentang cyber-bullying yang menjadi dasar pelaporan, Yayan menegaskan apabila video itu ditayangkan melalui televisi, maka pihak yang seharusnya menangani kasus itu adalah Komisi Penyiaran Televisi. Namun, jika video itu ditayangkan melalui akun Instagram dan Youtube yang merupakan salah satu bentuk media sosial, tuntutan atas pasal UU ITE bisa dilaporkan.
“Namun, balik lagi, tergantung bagaimana pihak berwajib dalam membaca dan menelaah kasus ini. Apakah pelaporan itu bisa diproses atau tidak,” pungkas Yayan. [*]