Selama pandemi Covid-19 berlangsung, salah satu fenomena unik yang terjadi adalah meningkatnya angka perceraian pasangan suami-istri. Beberapa pihak menganggap bahwa masalah finansial dan efek psikologis akibat situasi karantina menjadi salah satu pemicu utama. Namun, dalam kacamata psikologi, dinamika pernikahan sejatinya selalu memiliki fase-fase krisis yang wajib diketahui oleh semua pasangan.

Secara garis besar, pasangan yang telah menikah umumnya akan mengalami tujuh tahapan pernikahan. Tahapan-tahapan tersebut terdiri atas passion atau gairah, realisasi, pemberontakan, kerja sama, reuni, ledakan, serta penyelesaian. Menurut Dosen Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Tri Kurniati Ambarini MPsi Psikolog, ketujuh tahapan tersebut akan diikuti oleh serangkaian fase-fase krisis berdasarkan umur pernikahan.

Fase krisis pertama biasanya muncul di tahun ketiga pernikahan, saat banyak adaptasi terjadi antara suami dan istri. Untuk mengatasinya, dibutuhkan diskusi dan penyesuaian baik sebelum maupun selama menjalani kehidupan rumah tangga. Mereka yang berhasil melewati tahap ini umumnya akan mampu bertoleransi terhadap sikap dan sifat pasangan.

Fase kedua terjadi pada tahun kelima pernikahan yang biasanya muncul akibat masalah finansial yang belum mapan. “Jika tengah menginjak fase ini, hendaknya suami dan istri mulai bersepakat untuk berbagi peran agar keadaan keuangan segera stabil,” kata Tri.

Fase selanjutnya terjadi pada tahun kesepuluh ketika perekonomian mulai mapan serta keduanya telah memiliki anak di usia sekolah. Sayangnya, usia pernikahan ini begitu rawan kehadiran orang ketiga, karena baik suami maupun istri mulai tenggelam dalam dunianya sendiri.

“Sang istri mulai menikmati perannya sebagai seorang ibu dan istri, sementara suami mulai kehilangan perhatian,” imbuh ahli psikologi anak dan dewasa tersebut.

Sementara itu, pada tahun kelima belas pernikahan, baik suami maupun istri rentan mengalami masalah eksistensi diri. Krisis identitas diri tersebut akan diikuti dengan fase tahun pernikahan kedua puluh saat baik suami dan istri mengalami masa refleksi.

Terakhir adalah fase krisis pada tahun kedua puluh lima pernikahan tatkala pasangan akan mulai mengalami penyakit degeneratif serta gangguan lain akibat usia senja.

“Pada masa ini ketergantungan terhadap pasangan akan semakin kuat. Mereka yang berhasil mencapai fase ini akan menyadari bahwa satu-satunya yang mereka butuhkan saat itu adalah kehadiran pasangan sebagai teman hidup pada masa tua,” ujarnya.

Oleh karena itu, berdasarkan fase-fase tersebut, pandemi Covid-19 dan segala dampaknya mungkin saja turut menjadi pemicu keretakan hubungan rumah tangga. Namun, tanpa adanya pandemi pun setiap pasangan pasti akan mengalami fase-fase krisis tersebut.

Oleh karena itu, Tri Kurnia mengingatkan manajemen psikologis, toleransi, serta diskusi menjadi poin utama untuk mencegah dan mengatasi masalah dalam pernikahan. [*]