Selaras dengan kebutuhan hasil pemeriksaan yang akurat dan berkualitas dalam bidang radiologi, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) mulai mengambil peran. AI membantu dokter untuk meningkatkan kualitas interpretasi citra. Lalu, apakah AI akan menggeser profesi radiografer?

Itulah topik diskusi yang diusung dalam gelaran webinar nasional bertajuk “How Artificial Intelligent Will Change Medical Imaging” kali ini. Konsultan radiologi senior Paulus Rahardjo dr SpRad(K) menegaskan, AI adalah senjata. AI tidak akan menggeser profesi radiografer.

Justru sebaliknya, tanpa AI, profesi radiografer akan terancam. “Tergantung senjata ini dipegang siapa. Jika dipegang oleh industri atau pemilik modal yang besar, profesi radiologi mungkin terancam,” paparnya ketika menyampaikan materi pada webinar tersebut, Sabtu (14/11/2020).

Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) tersebut mengungkapkan, AI dapat membantu mengembangkan keahlian dokter dalam menginterpretasi citra medis. Sebab, dalam waktu yang singkat, AI dapat mengakses informasi dalam jumlah yang besar sehingga dapat memprediksi kondisi pasien.

“AI dapat melihat ratusan ribu kasus dalam hitungan detik saja. Jelas saja dia memiliki kecerdasan untuk bisa memprediksi kondisi pasien dengan kemampuan yang lebih baik,” ujarnya.

Faktanya, sering kali AI dianggap hanya digunakan untuk menginterpretasi sebuah gambar. Padahal, pekerjaan yang dapat dilakukan AI sangat luas.

Dalam bidang radiologi, setidaknya terdapat enam hal yang dapat kerjakan AI. Pertama, menentukan protokol pemeriksaan terbaik secara otomatis. Misalnya, apakah pasien memerlukan CT scan atau MRI.

Dia melanjutkan, AI bahkan juga dapat menentukan dosis radiasi pasien dalam satu tahun. “AI bisa menganalisis apakah ada kebutuhan untuk menambah atau mengurangi protokol pemeriksaan. Ini sangat membantu sekali.”

Selanjutnya, AI juga dapat berperan dalam mengelola penjadwalan. Misalnya ketika ada pasien darurat, AI dapat mendahulukan urutan pasien tersebut untuk segera diperiksa.

Ketiga, akuisisi citra dan rekonstruksi. Paulus mengatakan, AI dapat menentukan protokol pemeriksaan, posisi, dan dosis radiasi paling rendah yang harus dipakai untuk memeriksa pasien.

Keempat, AI dapat menampilkan hasil pemeriksaan sesuai kebiasaan yang dilakukan dokter. Selain itu, AI mampu mendiagnosis patah tulang, osteoartritis, usia tulang, dan kekuatan tulang.

“Untuk membandingkan tumor paru yang tadinya 1,5 sentimeter sekarang menjadi 1,3 sentimeter, itu mata kita secara radiologi akan kesulitan. Tapi, dengan AI, lebih mudah dilakukan karena tingkat ketelitiannya jauh di atas kita,” jelas Paulus.

Terakhir, analisis kuantitatif. AI mampu menampilkan berat atau ringan tingkat penyakit pasien. “Rangkul dan pakailah AI. Tidak perlu khawatir karena cara kita menangani pasien, perhatian, dan kepedulian kita tidak akan pernah bisa digantikan oleh AI,” tandasnya.

Sebagai tambahan informasi, webinar yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa D-4 Teknologi Radiologi Pencitraan Fakultas Vokasi (FV) Unair itu dihadiri sekitar 300 mahasiswa aktif radiologi, radiografer, dan radiologis seluruh Indonesia.

Sementara itu, selain Paulus, terdapat dua pemateri lainnya, yakni dosen Image Processing and Big Data Fakultas Sains dan Teknologi UNAIR Dr Riries Rulaningtyas ST MT, serta Application Specialist of Philips Arif Rohman Saleh AmdRad. [*]