Pada umumnya, kasus patah tulang dapat menyebabkan terjadinya defect tulang. Defect tulang bisa diisi dengan biomaterial yang kandungannya mirip kandungan tulang, bersifat biokompatibel, tidak korosif, memiliki sifat mekanik, dan fisik yang sesuai dengan fungsinya.

Sifat biokompatibel merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh biomaterial agar diterima tubuh manusia dan tidak menimbulkan penolakan dari sistem imun tubuh. Tulang mengandung mineral hidroksiapatit (HA) sekitar 67–70 persen.

Oleh karena itu, HA dengan rumus kimia Ca10(PO4)6(OH)banyak digunakan sebagai bahan pengisi defect tulang karena sifatnya yang bioaktif dan osteokonduktif yang dapat mendukung proses remineralisasi tulang karena dapat merangsang tumbuhnya sel tulang.

Dr Ir Aminatun MSi, Ketua Tim Penelitian Tulang Sotong untuk Pengisi Defect Tulang.

Dari latar belakang tersebut, Dr Ir Aminatun MSi, dosen Universitas Airlangga (Unair), bersama tim memanfaatkan tulang sotong sebagai bahan pengisi tulang. Tulang sotong diketahui mengandung 85 persen kalsium karbonat (CaCO3) yang merupakan komponen utama HA.

“Selama ini, tulang sotong hanya dipakai sebagai pakan burung karena kandungan kalsiumnya. Mengingat kandungan kalsium pada tulang ikan sotong sangat besar, untuk meningkatkan kemanfaatan dari ikan sotong ini, tercetus ide untuk menggunakannya sebagai material pengisi defect tulang,” terang dosen Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Unair ini, Kamis (24/12/2020).

Tahapan penelitian

Penelitian yang telah berjalan selama delapan tahun tersebut melewati beberapa tahapan. Pertama, mencari parameter proses optimum pembuatan HA melalui metode hidrotermal dengan mencampur kalsium karbonat (CaCO3) tulang sotong dengan ammonium dihidrogen fosfat (NH4H2PO4).

Dengan metode tersebut diperoleh parameter proses optimum, yaitu pemanasan pada suhu 200 derajat celsius selama 12 jam dan dilanjutkan proses sintering pada suhu 900 derajat celsius selama 1 jam.

“HA yang dihasilkan dari sintesis ini layak diaplikasikan sebagai bone graft karena nilai viabilitas sel lebih dari 80 persen, nilai kuat tekan tertinggi (11.799 ±0.00057) MPa (Mega Pascal) sehingga bahan HA dari tulang sotong ini layak diaplikasikan pada tulang cancelous,” jelas dosen yang memiliki fokus bidang material tersebut.

Tahapan berikutnya adalah membuat ukuran HA menjadi berukuran nano melalui metode high energy milling (HEM). Selain untuk memperkecil ukuran partikel, HEM juga membuat struktur permukaan HA menjadi lebih baik, sehingga dapat mempercepat proses osteokonduksi dan osteointegrasi serta menstimulasi aktivitas osteoblast untuk pembentukan sel-sel tulang yang baru.

“Dari proses milling 9 jam, dihasilkan ukuran partikel terkecil hingga 65 nm. Hasil uji viabilitas sel menunjukkan bahwa nanoHA tidak toksik dengan nilai viabilitas sel lebih dari 80 persen,” ujarnya.

Selanjutnya, untuk mengembangkan fungsi HA tulang sotong, riset dilanjutkan dengan membuat scaffold tulang yang berasal dari komposit bahan HA tulang sotong dengan berbagai jenis polimer. Scaffold merupakan komponen utama dalam rekayasa jaringan yang berfungsi sebagai template untuk interaksi sel dan pembentukan matriks ekstraseluler tulang yang memberikan dukungan struktural untuk pembentukan jaringan baru.

Bahan polimer yang digunakan antara lain kitosan (Ch), kondroitin sulfat, dan carboxylmethyl cellulose (CMC). Penambahan polimer kitosan ke dalam hidroksiapatit akan menyebabkan ukuran pori semakin besar. Selain itu, kitosan memiliki sifat biokompatibel, biodegradable, dan antibakterial.

Sementara itu, kondroitin sulfat menyebabkan peningkatan remodeling tulang dan pembentukan tulang baru. Carboxymethyl cellulose (CMC) memiliki muatan yang berlawanan dengan Ch sehingga CMC dapat berikatan kuat dengan Ch dan terjadi ikatan ion serta adanya cross link antar-ikatan.

“Komposisi terbaik komposit nHA:Ch: kondroitin sulfat adalah 60: 35:5 (weight persen) dengan ukuran pori 80-191 µm, porositas sebesar 79,43 persen, nilai kuat tekan sebesar 4,6734 MPa dan persentase massa hilang sebesar 17,74 persen selama 4 minggu. Hasil terbaik dari komposit nHA:Ch:CMC yaitu 40:50:10 (wt persen) yang memiliki rentang ukuran  pori 92,10–136,00 µm, nilai porositas 49,77 persen, compressive strength 3,9 MPa serta persen massa hilang pada minggu ke-4 sebesar 29,92 persen,” imbuhnya.

Dapat disimpulkan, scaffold dari kedua jenis komposit ini berpotensi untuk digunakan sebagai tempat tumbuhnya sel tulang dengan porositas dan compressive strength yang memadai serta tidak bersifat toksit.

Setelah itu, menjadikan HA sebagai bahan pelapis implan logam SS316L, paduan kobalt, dan paduan titanium. Pelapisan HA ini dimaksudkan untuk membentuk integrasi antara tulang dengan material implan logam, khususnya implan logam yang ditanam secara permanen di dalam tubuh.

Aminatun menambahkan, sejauh ini pihaknya masih mencari metode pelapisan yang efektif dan sederhana, di antaranya metode dip coating, electrophoretic deposition, dan airbrush spray.

Hidroksiapatit hasil penelitian.

 

Uji coba “in vivo”

Pada tahapan uji ini dilakukan pemberian serbuk HA tulang sotong pada tikus putih dalam waktu empat dan delapan minggu. Pengujian dilakukan untuk mengetahui respons jaringan inflamasi, proliferasi sel, pembentukan kalus, penulangan kalus (osifikasi), dan remodeling tulang.

Hasil uji membuktikan HA tulang sotong berpengaruh terhadap proses pertumbuhan tulang dengan terbentuknya osteoblas, osteoklas, woven bone, lamellar bone, sistem havers, sampai terjadi bone repair.

Pemberian HA berpengaruh terhadap waktu penyembuhan. Waktu penyembuhan terbaik pada pembentukan tulang terjadi pada hari ke-56 (8 minggu). Semakin lama waktu penyembuhan, semakin terbentuk tulang baru atau terjadi regenerasi secara sempurna,” tambahnya.

Selanjutnya, dilakukan uji pada kelinci untuk mengetahui pengaruh scaffold komposit nHA:Ch: kondroitin sulfat. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa berdasarkan pemeriksaan whole blood, maka scaffold komposit nHA:Ch: kondroitin sulfat tidak memengaruhi  timbulnya inflamasi pada proses pertumbuhan tulang.

“Proses pertumbuhan sel osteoblast, woven bone, lamellar bone, sistem havers, sampai terjadi bone repair berjalan dengan baik seiring dengan pertambahan masa uji coba hingga 56 hari,” ujarnya.

Penelitian tersebut dilakukan dengan bekerja sama dengan Departemen Biologi Unair, Fakultas Kedokteran Gigi Unair, Departemen Orthopedik dan Traumatologi Fakultas Kedokteran UNAIR, dan Prodi Fisika Universitas Gadjah Mada (UGM).

“Harapannya, riset ini bisa dilanjutkan untuk uji preklinis-klinis dan siap untuk dimanfaatkan langsung pada manusia yang membutuhkan,” pungkasnya. [*]