Awal 2021, Indonesia kembali melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau yang kini disebut Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa dan Bali. Kebijakan itu diterapkan pada 11–25 Januari. Bagian dari wilayah Jawa Timur yang turut serta adalah Surabaya Raya dan Malang Raya.

Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair) Prof Dra Myrtati Dyah Artaria MA PhD, pelaksanaan PPKM baik untuk diupayakan. Demi kebaikan bersama, Prof Myrta mengatakan, melalui kebijakan tersebut perlu adanya “tiarap” dan prihatin sementara waktu untuk kemudian roda kehidupan dapat pulih dan berjalan kencang kembali.

“Saya kira kita harusnya sudah belajar dari tahun 2020. Sebenarnya tahun 2020 harusnya sudah belajar dari peristiwa pandemi 100 tahun sebelumnya,” tutur Guru Besar Antropologi tersebut, Jumat (8/1/2021).

Bagi prof Myrta, keefektifan kebijakan PPKM bergantung pada banyak unsur masyarakat yang harus saling bekerja sama. Jika satu saja tidak mempunyai kepedulian, tidak akan berjalan dengan baik.

“Misal, PSBB tentu membutuhkan keseriusan dari sisi pemerintah yang memberlakukan, dalam hal ini pemerintah daerah. Kebijakan berupa PPKM ini berbeda dari PSBB karena alurnya adalah perintah dari pusat, bukan permohonan dari pemerintah daerah,” ucap Prof Myrta.

Pemerintah daerah, lanjutnya, perlu bekerja sama dengan baik. Misalnya, jika ada pelanggaran di masyarakat, diberi sanksi. Lalu, dari sisi masyarakat adalah kesadaran untuk melakukan PPKM itu, baik lembaga swadaya masyarakat (LSM), RT dan RW, maupun lainnya. Masing-masing dapat mempunyai peran.

Timbulnya permasalahan di masyarakat

Menurut Prof Myrta, manusia mempunyai struktur masyarakat yang kompleks dan permasalahan sosial tidak ada habisnya. Adanya kebijakan PPKM tentunya dapat menimbulkan masalah sosial, seperti berada di rumah terus dan bertemu dengan orang itu-itu saja menyebabkan adanya potensi masalah.

“Kasus abuse meningkat. Kalau dari sisi ekonomi, ya sudah dapat diduga arahnya ke mana,” tambahnya.

Pembatasan yang hanya dilaksanakan di daerah tertentu, kemungkinan dapat menimbulkan anggapan-anggapan aneh di masyarakat. Namun, respons masyarakat tidak dapat diharapkan agar seragam pada semua orang karena manusia sangat beragam.

Dampak bagi perempuan dan anak-anak

Prof Myrta menjelaskan, diberlakukannya kebijakan PPKM menyebabkan ada banyak kemungkinan yang dirasakan oleh perempuan dan anak-anak, baik positif maupun negatif. Sisi positifnya, ibu-ibu bisa tinggal di rumah meluangkan lebih banyak waktu dengan keluarga, menata rumah lebih leluasa, quality time lebih dimungkinkan, serta memonitor anak-anaknya dengan lebih baik.

“Banyak ibu yang bersyukur dengan hal ini. Dampak negatif juga ada. Misal, yang mengalami gangguan jiwa menjadi lebih stres karena terbatasi lebih banyak. Yang orang-orang out going menjadi lebih tertekan karena tidak bisa bersosialisasi dengan rekan-rekannya secara tatap muka, lalu melampiaskan pada keluarga,” jelasnya.

Yang mengalami kesulitan keuangan, sambungnya, menjadi lebih tertekan. Bagi yang sulit mengajari pelajaran sekolah pada anaknya, bisa jadi akan menjadi bingung, sedih, dan tertekan. Masing-masing individu memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi situasi di PPKM ini, sesuai dengan situasi-kondisi maupun karakter individunya.

Solusi permasalahan

Dari beberapa permasalahan yang timbul, Prof Myrta mengatakan, solusi yang ada tergantung dari masalah yang dihadapi. Solusi tentang ketidakpatuhan beberapa orang terhadap pembatasan, perlu ada ketegasan dari pemerintah, dibantu dengan berbagai unsur masyarakat.

“Misalnya, mengerahkan selain polisi dan satpol PP, pemuka agama, RT RW, anggota pramuka, young agents, volunteer, dan lain-lain untuk ikut menjaga orang-orang yang melanggar ada sanksi,” katanya.

Solusi tentang abuse di rumah tangga yang sedang melakukan PPKM, salah satu upayanya dengan memberi sosialisasi pada RT RW dan kemudian sosialisasinya turun ke seluruh rumah tangga. Sosialisasi ini dilakukan dengan harapan meningkatkan kepedulian sesama penghuni dan saling menjaga.

Sementara itu, solusi untuk menurunnya kemampuan daya beli dari sebagian orang karena kehilangan sumber penghasilan, menurut Prof Myrta, salah satunya dengan pengelolaan dana sumbangan oleh ketua RT atau RW. Oleh karena itu, kontrol dilakukan oleh orang-orang yang sama. Dengan jumlah dana yang relatif tidak banyak, potensi korupsi juga minim.

Dana tersebut, lanjut Prof Myrta, dapat dikelola untuk dibelikan kebutuhan pokok bagi anggota RT/RW yang membutuhkan. “Ini saatnya untuk bahu-membahu dalam bersama mengatasi masalah dengan membangkitkan kepedulian. Berzakat itu tidak harus dilakukan di waktu tertentu saja, tetapi bisa kapan saja, apalagi ketika saat ini banyak yang membutuhkan.”

Prof Myrta menekankan, saat ini adalah masa tatkala kepedulian pada orang lain perlu dibangkitkan dan ditingkatkan. Hal ini karena pada intinya seseorang memakai masker dan menjaga jarak serta menahan diri untuk tidak keluar jika tidak penting adalah menjaga orang lain di sekitarnya agar tidak tertular. (*)