Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

PP yang ditandatangani pada 7 Desember 2020 tersebut memunculkan tanggapan pro dan kontra dari masyarakat. Salah satunya pakar pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Amira Paripurna SH LLM PhD.

Upaya pemulihan gangguan seksual

Secara umum, dosen yang kerap disapa Amira itu menerangkan ada dua jenis sanksi dalam hukum pidana. Pertama, sanksi pidana yang bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan dan diberikan untuk memberikan efek jera pada pelaku. Kedua, sanksi tindakan bersifat antisipatif untuk memberikan pertolongan agar pelaku tindak pidana dapat berubah ke arah yang lebih baik.

Dalam hal itu, Amira menyebutkan bahwa kebiri kimia masuk kategori sanksi tindakan. “Kebiri kimia perlu dilakukan sebagai sarana perbaikan terhadap hawa nafsu seksual pelaku untuk menekan dorongan seksual atau tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak.”

Tindakan kebiri kimia yang dilakukan dengan cara menyuntikan suatu obat anti-androgen (antitestosterone) kepada pelaku itu dinilai bukan sebagai penyiksaan, melainkan upaya pemulihan gangguan seksual. Menurut Amira, kebiri kimia memiliki tiga tujuan pemidanaan berdasar perspetif teori gabungan.

Tujuan itu di antaranya sebagai pembalasan kepada pelaku akibat dari tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan; sebagai penjeraan, memberikan rasa aman, serta ketertiban dalam masyarakat; dan untuk memulihkan gangguan seksual yang diderita oleh pelaku.

Tidak langgar HAM

Dosen mata kuliah Hukum Pidana itu menyebutkan, kebiri kimia harus didasari atas assessment medis sebelum hakim menjatuhkan putusan. Assessment medis tersebut diharapkan mampu memberikan diagnosa mengenai dapat atau tidaknya seorang pelaku dikenakan tindakan kebiri kimia.

Selain itu, Amira menerangkan kebiri kimia harus dilakukan dalam tahap rehabilitasi, bukan setelah pelaku selesai menjalani masa pidana. “Jika kebiri kimia dilakukan dalam tahap perawatan medis psikiatri yang sudah melalui assessment medis, maka tindakan tersebut bertujuan sebagai rehabilitasi terhadap diri pelaku dan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM). Hal itu dikarenakan perawatan psikiatri merupakan tindakan yang dilakukan berdasar aspek kemanusian untuk mengobati gangguan seksual yang diderita oleh pelaku.”

Hukuman bagi pelaku anak-anak

Dalam PP tentang Kebiri Kimia, disebutkan bahwa sanksi tersebut tidak berlaku bagi pelaku yang masih berusia anak-anak. Merespons hal itu, Amira mengatakan dirinya sepakat dengan poin tersebut. Oleh karena itu, pelaku anak-anak tidak bisa disamakan dengan pelaku dewasa. Selain itu, jenis, bentuk sanksi, dan tindakan dianggapnya berbeda dengan orang dewasa.

Bukan hukum baru

Lebih lanjut, Amira memaparkan tindakan kebiri kimia bukanlah hukuman yang baru diterapkan di Indonesia. Sanksi kebiri sebagai salah satu bentuk hukuman (punishment) atau tindakan (treatment), menurutnya telah diterapkan pada beberapa negara, termasuk negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat.

“Berdasar data dari World Rape Statistic atau statistik dunia tentang perkosaan di berbagai negara di dunia, saat ini, ada 20 negara yang memberlakukan hukuman kebiri. Jadi, Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang menerapkan hukum itu,” katanya.

Terakhir, Amira berharap pelaksanaan sanksi kebiri kimia harus dilaksanakan secara hati-hati berdasar assessment medis agar tujuan rehabilitasi bisa tercapai. “Jika proses tersebut tidak dilakukan dengan baik, tujuan memulihkan pelaku bisa melenceng. Pengawasan juga harus benar-benar diperhatikan.”