Indonesia sejak lama telah dikenal sebagai middle income countries yang mayoritas penduduknya berpendapatan menengah. Hal ini pada akhirnya membuat Indonesia selalu dibayang-bayangi middle income trap akibat kegagalan negara untuk naik dari pendapatan menengah-bawah menuju menengah-atas.

Meski setahun belakangan Indonesia telah dikategorikan sebagai upper-middle income country, situasi pandemi membuat progres ekonomi masyarakat Indonesia akan semakin terancam. Namun, pandangan berbeda diungkapkan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Prof Badri Munir Sukoco SE MBA PhD. Menurut Prof Badri, situasi pandemi sebenarnya menguntungkan iklim inovasi dan ekonomi kreatif bagi mereka para individu cerdas dan inovatif.

“Pandemi adalah variabel intervening yang luar biasa. Apalagi diikuti dengan komposisi usia produktif masyarakat kita yang lebih dari 60 persen. Masa ini menjadi masa yang tepat untuk mengembangkan ekonomi kreatif,” ungkap guru besar termuda Unair tersebut.

Menurut Prof Badri, pengalaman 23 tahun Indonesia untuk keluar dari lower-middle income trap diakibatkan oleh rendahnya inovasi dan ekonomi kreatif. Indonesia memiliki usia produktif tinggi, tetapi angka kompetitivitas angkatan kerja menurun dari tahun ke tahun. Apalagi diikuti dengan kerentanan 90 persen komposisi penduduk Indonesia yang berada pada kelas middle income.

Selain itu, pekerjaan usia produktif Indonesia masih terkonsentrasi pada pekerjaan kantor maupun ekonomi konvensional. Titel Indonesia sebagai salah satu negara pengguna internet terbesar dengan 150 juta pengguna pun ternyata tidak pernah benar-benar dimanfaatkan sebagai peluang ekonomi.

Untuk mengatasinya, Prof Badri meyakini istilah creativity is the new economy. Orientasi ekonomi kini harusnya tidak lagi terpatok pada sumber daya alam, tapi kreativitas dan value added. Oleh karena itu, Indonesia perlu melakukan transformasi ekonomi dengan memanfaatkan inovasi, kreativitas, dan digitalisasi.

“Maka, jika sekarang mulai banyak anak muda bercita-cita mendirikan startup sendiri, itu salah satu langkah yang tepat. Startup atau perusahaan rintisan bisa menjadi solusi bagi negara yang mengalami middle income trap,” jelasnya dalam webinar Creative Economy Network yang digelar Sekolah Pasca Sarjana Unair, Kamis (14/1/2021).

Berkaca dari Singapura dan Luksemburg yang memiliki ranking kelas kreatif yang tinggi, ternyata hal tersebut mampu mendorong pada peningkatan ekonomi masyarakatnya melalui ekonomi kreatif dan startup yang diciptakan. “Indonesia sendiri masih di peringkat 86 dengan hanya 7,95 persen proposisi kelas pekerja ekonomi kreatif,” imbuhnya.

Prof Badri pun mencontohkan bagaimana startup unggulan Indonesia, seperti Go-Jek tidak hanya mampu meraup pendapatan yang fantastis, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan bagi lebih dari 4 juta mitra kerja startup decacorn tersebut.

Super creative core seperti Go-Jek, Grab, Google, Pixar, dan lain-lain menjadi contoh bahwa startup dapat membawa progres ekonomi yang tidak main-main. Angka pertumbuhan startup akan linier dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat pula,” kata Direktur Sekolah Pasca Sarjana Unair itu.

Hingga kini, tercatat Indonesia telah memiliki lebih dari 2.000 perusahaan rintisan. Perkembangan tersebut membuat Prof Badri meyakini bahwa ke depannya ekonomi kreatif Indonesia akan semakin beragam meski hingga kini mayoritas masih berfokus pada bidang makanan dan minuman. (*)