Pada era pandemi ini, hampir semua aktivitas perkuliahan dilakukan secara online atau daring. Perkuliahan yang dilakukan secara daring mengakibatkan komunikasi antara mahasiswa dan dosen intens dilakukan melalui sosial media seperti WhatsApp (WA). Namun, perlu dipahami etiket dan sopan santun dalam berkomunikasi dengan dosen melalui WA.

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (FPsi Unair) Dr Dewi Retno Suminar MSi Psikolog mengatakan, etiket yang baik saat berkomunikasi melalui WA diawali dengan memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan, dan penutup. Tidak lupa pesan ditulis menggunakan bahasa baku dan pemilihan kata yang tepat.

Form-nya seperti ini, salam pembuka perkenalkan diri. Lalu maksud tujuan dan penutup atau salam, itu isinya. Kemudian gunakan bahasa baku, tidak boleh menyebutkan ‘aku’, tapi harus ‘saya’ ketika menyampaikan pesan kepada dosen,” jelas dosen yang memiliki fokus keahlian hubungan antar-person tersebut.

Pemilihan waktu menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Dewi mengungkapkan, pagi hari menjadi waktu yang baik untuk menghubungi dosen. Sebab, pada pagi hari, masih ada waktu luang sebelum dosen sibuk dengan persoalan kantor.

“Karena biasanya pagi itu pikiran masih bersih, ada energi positif dalam diri. Contohnya habis shalat Subuh langsung mengirimkan pesan pagi. Karena sebelum dosen bekerja dengan kegiatan rutin, akan membuka pesan pada pagi itu, yaitu saat beliau belum disibukkan dengan pekerjaan lainnya,” tambahnya.

Perlu disadari, pada masa pandemi, grup WA lebih cepat direspons daripada WA personal. Itu disebabkan waktu yang ada lebih aktif dibandingkan dengan WA personal. Oleh karena itu, terkadang mahasiswa harus berpikir positif apabila dosen baru bisa membalas malam atau keesokan harinya.

Selain itu, berkomunikasi secara online sangat berbeda dengan cara berkomunikasi tatap muka. Harus disadari, bila dosen menjawab singkat bukan berarti tidak mau diganggu, melainkan mungkin sedang ada aktivitas yang lain. Demikian juga bila tidak segera dijawab juga mungkin baru membaca, tiba-tiba ada pekerjaan yang membutuhkan respons langsung sehingga belum dijawab, tapi agar tersampaikan bisa saja hanya menjawab “ya”.

“Jadi, enggak perlu sampai merasa tersinggung. Bahasa komunikasi tertulis itu kan bisa jadi ketika dibalas  dengan ‘ya’, ‘oke’ bukan berarti marah. Coba bayangkan kalau bertemu langsung, jawaban ‘ya’ dan ‘oke’ tersebut dapat bermakna menjawab ‘oh begitu ya’, ‘oke kalau gitu’, ‘kita ketemu nanti’, ‘hmmm iya”, dan lain-lain,” jelasnya.

Dewi juga menekankan bahwa dalam mengakhiri pesan tidak perlu panjang lebar, cukup yang penting-penting saja. “Cukup dengan ‘terima kasih, Bu, atas masukannya’, atau ‘terima kasih untuk waktunya’,” ujarnya.

Informasi lebih lengkap seputar Fakultas Psikologi dan fakultas lainnya di Unair, bisa dikunjungi di unair.ac.id. (*)