Akhir-akhir ini, media sosial ramai dengan perbincangan tentang fenomena pemutusan komunikasi sepihak tanpa pemberitahuan terlebih dahulu atau yang lebih dikenal dengan istilah ghosting. Kabarnya, fenomena tersebut kerap dilakukan oleh pemuda terhadap pasangannya.

Dari segi psikologis, dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlanggga (FPsi Unair) Ilham Nur Alfian MPsi mengatakan, ghosting adalah fenomena yang wajar dalam proses komunikasi pada sebuah relasi.

Baginya, fenomena tersebut telah ada bahkan sebelum adanya pola komunikasi media sosial. Perkembangan teknologi informasi memiliki pengaruh besar terhadap model-model media sosial dan fenomena ghosting apalagi dalam situasi pandemi.

Jadi, ada situasi memang ketika orang itu kemudian memutus hubungan atau komunikasi karena ada beberapa sebab. Bisa jadi sebabnya itu salah satunya sudah enggak merasa nyaman lagi berkomunikasi atau menjalin hubungan dengan partnernya,” tutur dosen yang memiliki keahlian bidang asesmen komunitas dan analisis sosial tersebut.

Situasi pandemi, sambungnya, memiliki pengaruh tersendiri dalam pola komunikasi dengan adaptasi baru. Permasalahan ghosting dapat muncul begitu saja dalam situasi ini. Hal tersebut karena orang-orang merasa tidak ada sesuatu yang bervariasi dalam proses interaksi jika tidak dilakukan secara langsung.

Ilham menutukan bahwa para korban ghosting sebenarnya akan lebih mudah beradaptasi. Hanya saja perlu diwaspadai adanya kompensasi, jika pernah menjadi korban, bisa jadi ada keinginan untuk menjadi pelaku.

“Mungkin itu tapi bukan karena trauma, melainkan cuma ingin membalas begitu saja sebenarnya. Jadi, siklusnya jadi pelaku bisa jadi, unsur traumatiknya sebenarnya nggak,” tutur Ilham.

Umumnya, lanjut Sekjen Ikatan Psikologi Sosial (IPS) Indonesia itu, peluang atau risiko korban ghosting merasa menyalahkan dirinya sendiri. “Karena pasti mereka merasa pasanganku atau relasiku karena aku. Nah, justru aspek-aspek semacam itu dihilangkan. Jadi untuk korban ghosting seharusnya tidak menyalahkan dirinya sendiri. Anggap saja itu adalah kognitif, situasi semacam ini adalah situasi yang umum, yang wajar dalam sebuah relasi,” tambahnya.

Yang terpenting untuk korban ghosting adalah tetap menumbuhkan kepercayaan bahwa ada orang-orang yang lebih baik dari pasangan terdahulu yang membuat dia menjadi korban. Hal itu dilakukan dengan cara mencari dukungan dari keluarga atau orang-orang terdekat yang memang selama ini bisa memberikan support.

Ilham menjelaskan bahwa harus dipahami bahwa fenomena ghosting adalah fenomena umum dalam komunikasi. Harus siap secara mental dan kognitif dalam komunikasi virtual. termasuk dalam banyak varian yang lebih menyenangkan.

“Harus siap dengan model-model interaksi virtual. Peluang cepat merasa jenuh pasti ada. Dalam konteks virtual komunikasi, variasi dengan mencari (relasi, red) yang baru atau lain lebih besar. Aspek atraktifnya cenderung lebih banyak,” pungkasnya.

Unair sebagai perguruan tinggi yang sangat peduli pada kondisi sekitar, senantiasa berupaya untuk mendapatkan solusi atas sebuah permasalahan yang tengah marak di masyarakat. Untuk mengetahui lebih jauh tentang Unair, kunjungi unair.ac.id. (*)