Wacana Presiden 3 Periode kembali mencuat ke publik akhir-akhir ini. Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Dr Radian Salman SH LLM menyebutkan ada dua hal yang perlu digarisbawahi terkait wacana itu.

Pertama, dosen yang kerap disapa Radian itu menjelaskan, pemerintah perlu belajar atau becermin pada sejarah masa lampau. Secara historis, pihaknya menuturkan bahwa pembatasan jabatan dua periode ditetapkan karena undang-undang (UU) sebelumnya tidak pernah secara tegas memberikan batasan periode waktu. Selain itu, dengan berkaca pada hukum alam, menurut Radian, semakin lama dan semakin besar kekuasaan, maka kekuasaan itu memiliki peluang besar untuk cenderung menyimpang dan absolut.

“Alasan ada pembatasan masa jabatan adalah supaya pemerintah bisa memaksimalkan jabatan yang dipegang sebaik mungkin sesuai jatah waktunya. Karena kalau ditanya apakah masa waktu ini cukup atau tidak, pasti jawabannya tidak,” terangnya.

Poin kedua menurut Radian adalah wacana tersebut harus berdasarkan rasionalitas, apabila tidak, publik harus mengkritisi lebih lanjut.

“Harus ada alasan terbuka ke publik yang menjelaskan mengapa periode waktu jabatan presiden perlu diperpanjang. Apabila disebutkan alasannya agar kinerja bisa lebih maksimal, justru saat ini harusnya kinerja pemerintah bisa lebih cepat dan efektif karena posisi partai mayoritas ada di pihak pemerintah,” jelasnya.

Dampak Amandemen Presiden 3 Periode

Ketika wacana tersebut disetujui dan disahkan, dosen mata kuliah Bidang Ketatanegaraan, Pemerintahan, dan Perbandingan Konstitusi itu menyebutkan akan ada beberapa dampak yang mungkin terjadi. Dampak pertama, amandemen tersebut bisa mengakibatkan tujuan ideal pemilu untuk perputaran jabatan yang publik menghendaki sosok pemimpn baru tidak tercapai. Selain itu, amandemen tersebut juga bisa memicu semakin besarnya ketidakpercayaan publik terhadap partai atau wakil di parlemen karena menganggap semua peraturan yang ditetapkan berdasarkan atas kepentingan tertentu.

Dampak lainnya menurut Radian adalah amandemen tersebut bisa memunculkan image bahwa Indonesia kekurangan sosok pemimpin. Secara tidak langsung, wacana itu dianggapnya telah melangar prinsip demokrasi di mana hak seseorang untuk dipilih telah berkurang.

“Banyak sosok di Indonesia yang hak politiknya diciderai dengan ramainya isu ini. Hal ini tentu tidak baik bagi pengembangan leadership calon atau sosok lain yang akan muncul nantinya,” jelasnya.

Peluang Amandemen Presiden 3 Periode dinilai Besar

Ditanya tentang kemungkinan disahkannya wacana itu, Radian menuturkan jika melihat pada situasi politik saat ini yang partai politik dominan mendukung pemerintah, maka peluang dilakukannya amandemen tersebut sangat besar. Oleh karena itu, dia menyampaikan harus ada waspada publik berupa kritik, diskusi, dan antitesis untuk menimbang wacana tersebut.

“Meskipun Presiden Jokowi telah menyatakan tidak berniat untuk melanjutkan tiga periode, pernyataan itu tidak memiliki dampak besar pada ramainnya isu ini. Pasalnya, presiden tidak punya kekuasaan untuk mengubah UU. Kekuasaan itu ada pada MPR,” ucapnya.

Meski begitu, Radian menjelaskan syarat untuk melakukan amandemen periode jabatan presiden adalah harus memenuhi ketentuan tentang aturan perubahan UU yang tertuang pada pasal 37. “Harus ada diskusi panjang tentang siapa yang mengusulkan dan berapa banyak presentase yang menyetujui wacana tersebut,” pungkasnya.

Unair sebagai salah satu kampus unggulan, senantiasa mengamati kebijakan pemerintah terkait tata negara. Informasi lengkap seputar Unair bisa dikunjungi di unair.ac.id. (*)