Bank Syariah Indonesia (BSI) resmi melakukan penggabungan pada 1 Februari 2021 yang terdiri atas Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRIS Syariah. Pembentukan BSI tersebut diharapkan dapat menjadi awal kebangkitan perbankan syariah di Indonesia.

Pakar Hukum Syariah Universitas Airlangga (Unair) Dr Prawitra Thalib SH MH menuturkan bahwa keputusan merger BSI tersebut sudah tepat. Rencana merger merupakan strategi pemerintah untuk memperkuat daya saing perbankan syariah.

“Melalui merger tersebut, diestimasi kekuatan modal BSI dapat masuk kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV. Dengan status BUKU IV ini, kesempatan mereka berkembang dan berekspansi akan semakin luas,” ungkapnya.

Sejak ditetapkan pada UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kinerja bank-bank syariah BUMN di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang progresif meskipun bank syariah BUMN sudah lama dibentuk. Jika bank syariah BUMN terus beroperasi dengan kinerja rata-rata, dikhawatirkan keberadaannya akan tergerus.

“Setelah merger ini efektif, segmentasi BSI dapat tetap dijaga di arah segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan usaha makro. Dengan menjadikan BSI masuk kategori BUKU IV, dapat dipastikan BSI akan memiliki akses jaringan yang lebih luas, baik di dalam maupun di luar negeri,” tambahnya.

Dr Prawitra menuturkan bahwa mergernya bank syariah diyakini dapat mendorong pertumbuhan tingkat inklusi dan literasi keuangan syariah di Indonesia. Kehadiran BSI sebagai bank syariah hasil merger tiga bank syariah BUMN akan memperkaya pilihan produk dan jasa keuangan syariah bagi masyarakat.

Tak hanya itu, pelayanan dan produk yang sesuai dengan syariat Islam juga bisa semakin menarik perhatian masyarakat agar menggunakan jasa perbankan syariah dengan tetap memperhatikan sharia compliance (kepatuhan syariah) dan legal compliance (kepatuhan hukum). Bank hasil merger juga akan menjadi lebih efisien, memiliki modal lebih kuat, dan mendapatkan dana murah.

“Penyaluran dana yang lebih murah ini dapat menguntungkan nasabah, terutama di segmen UMKM dan akan merambah target pembiayaan baru yaitu sektor industri makro,” jelasnya.

Tantangan ke depan agar BSI tetap sustainable adalah menghindari adanya diseconomies of scale (kesulitan berkomunikasi dan berkoordinasi antara manajemen bank hasil merger). Tantangan berikutnya adalah reorganisasi dan penempatan pegawai yang adil dan profesional.

“Tantangan utamanya adalah  memastikan penyamaan persepsi pemenuhan sharia compliance dan legal compliance dari BSI setelah dilakukan merger,” tuturnya.

Menurut perspektif hukum Syariah, mergernya bank Syariah akan berdampak pada aspek sharia compliance yang akan semakin kaffah atau sempurna, dengan tidak mengabaikan aspek kepatuhan hukum atau legal compliance. Masyarakat juga akan lebih terpacu, khususnya masyarakat yang ingin melakukan simpanan atau pembiayaan tanpa bunga bank yang sering diidentikkan dengan riba.

“Dengan demikian, potensi pembiayaan ataupun simpanan lebih meningkat di segmen umat muslim Indonesia,” tambahnya.

Pada akhir, Dr Prawitra berharap ke depannya, BSI dapat membuktikan eksistensinya di Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar ini. BSI harus mampu memanfaatkan peluang tersebut untuk menciptakan kondisi bank yang kuat secara trust dan capital.

“Semoga BSI dapat menjelma menjadi energi baru bagi ekonomi Indonesia yang senantiasa menerapkan prinsip financial justice dan stability in investment untuk masyarakat di Indonesia,” pungkasnya.

Unair merupakan universitas unggulan yang memiliki banyak pakar ilmu di dalamnya, termasuk pakar hukum syariah. Untuk mengetahui kiprah Unair dalam ilmu hukum, klik unair.ac.id. (*)