Banyak yang tidak sadar bahwa hal buruk pada masa lalu seharusnya diselesaikan. Ketika individu mengalami pengalaman dan perasaan serupa ketika dewasa, saat itulah inner child muncul. Inner child ini terbentuk dari pengalaman masa lalu, baik yang menyenangkan maupun tidak.

Dosen Universitas Airlangga (Unair) yang mengajar di Departemen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Dr Hamidah MSi, menyebutkan bahwa inner child yang traumatis akan terefleksikan perilaku dalam bentuk yang bermasalah.

“Yang bermasalah itu ketika inner child tidak menyenangkan karena yang menyenangkan tidak menimbulkan masalah pada cara berperilakunya pada remaja akhir maupun dewasa,” ujar Hamidah dalam wawancara melalui Zoom pada Senin (5/4/2021).

Hamidah mengibaratkan inner child seperti bekas luka yang tergores kembali. Pengalaman buruk yang tidak terselesaikan akan tersimpan di alam bawah sadar sehingga terpanggil saat mengalami hal serupa.

Kemampuan untuk melawan

Luka pada masa lalu akan menumpuk jika individu tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Hamidah menambahkan, cara individu menginterpretasikan sesuatu juga berpengaruh. Jika individu menganggap hal paling sakit pada masa lalu bukan sebuah kesakitan, hal itu akan menjadikan perasaannya lebih netral.

“Semua berpulang (kembali) pada cara memaknai stimulus. Sejelek apa pun kalimat dan tindakan orang lain, kalau tidak diterjemahkan menyakiti, tidak akan sakit untuk kita,” tegasnya.

Banyak yang tidak sadar bahwa perasaan yang dirasakan individu dari luka masa lalu muncul karena tidak diawasi secara intens. Hamidah menuturkan, sebenarnya saat individu merasakan rasa sakit, ia cenderung berpura-pura kuat sebagai bentuk bahwa psikologisnya mengindikasi hal yang dialami menyakitkan.

“Luka secara tidak sadar ditimbun, kemudian ada trigger sedikit saja akan mencuat, yang sering kali tidak terkendali dan biasanya muncul dalam bentuk perilaku menyimpang,” papar Hamidah.

Terapi penyembuhan

Seperti gangguan mental lain, luka inner child juga bisa disembuhkan agar tidak berakibat lebih fatal. Terapi yang dapat dilakukan adalah trauma healing, karena pada dasarnya luka inner child merupakan kumpulan trauma di masa lalu.

Untuk luka yang lama dan berlarut-larut, diperlukan penanganan oleh ahli dan dukungan lingkungan sekitar, tidak bisa bergantung pada individu saja. Terlebih bagi individu yang merasa bahwa lukanya pada masa lalu bisa memengaruhi harga dirinya.

Dalam kondisi trauma yang berlarut-larut, perlu profesional untuk membantu mengomunikasikan sembari memberikan psikoedukasi pada lingkungan terdekat. Jika dalam konteks anak, lingkungan terdekat adalah orangtua.

“Jika yang menyampaikan profesional mungkin orangtua akan lebih percaya pada profesional. Namun, kalau yang menyampaikan anak, kadang dikira mengada-ada,” jelasnya.

Penyembuhan secara mandiri, dalam hal ini tanpa bantuan dan pengawasan profesional, dapat berakibat pada efek samping yang lebih negatif. Bisa saja yang dilakukan tidak berdasarkan prosedur ilmiah dan ada SOP yang tidak dilewati sehingga tidak menyembuhkan malah menimbulkan luka baru.

“Saat penyembuhan itu, nanti muncul seperti luka yang kambuh dibedah lagi, jadi akan lebih sakit. Itu yang memerlukan bantuan dan pengawasan dari profesional dan tidak disarankan untuk menyembuhkan dirinya sendiri,” pungkasnya.

Sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia yang peduli pada tumbuh kembang dan psikologis anak, Unair memiliki banyak pakar yang dapat memberikan solusi dalam setiap permasalahan yang timbul. Untuk mengetahui lebih jauh tentang Unair, kunjungi unair.ac.id. (*)