Rencana Pemerintah Jepang untuk membuang limbah yang terkontaminasi nuklir menuai kecaman dari beberapa negara. Menanggapi hal tersebut, Koesrianti SH LLM PhD, dosen Hukum Nuklir Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan bahwa pembuangan limbah yang masih terkontaminasi tidak diperkenankan.

Koesrianti mengatakan bahwa air limbah nuklir mengandung racun aktif yang berbahaya. Menurut Koesrianti, air limbah nuklir itu harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang.

“Penempatannya tidak bisa sembarangan apalagi mau dibuang ke laut itu tidak boleh,” ujarnya.

Jika dibuang sembarangan, ujar Koesrianti, air limbah nuklir yang masih mengandung radioaktif berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Agar aman saat dilakukan pembuangan, harus dilakukan beberapa proses, bisa berupa evaporasi, destilasi, dan penyaringan.

“Dengan kata lain, limbah tersebut didaur ulang, dipisahkan antara partikel yang mengandung radioaktif dan yang tidak,” tuturnya.

Jika sudah didaur ulang dan dipisahkan zat radioaktifnya, limbah dari reaktor Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima dapat dibuang ke laut.

“Tapi, tidak semata-mata PLTN Fukushima yang membuang, tapi harus dalam pengawasan badan pengawas tenaga nuklir di Jepang dan internasional atau AIEA,” terang Koesrianti.

Badan internasional yang mengawasi limbah radioaktif atau International Atomic Energy Agency (AIEA) turut andil dalam memberikan keputusan selain pengawasan dari badan nasional yang ada di Jepang.

“Limbah radioaktif sendiri memiliki kategori, ada yang rendah, sedang, dan tinggi,” ujarnya.

Koesrianti menerangkan bahwa di Indonesia memiliki aturan tersendiri dalam mengolah masing-masing kategori limbah. Mestinya, Jepang juga tidak jauh berbeda.

Limbah yang telah diolah dapat dikembalikan ke negara asal atau dikirim ke lembaga pengawas dan pengelolaan limbah harus dipastikan aman untuk dibuang ke laut.

“Kalau sudah didaur ulang, dipisahkan dari zat radioaktifnya, tinggal airnya saja tidak apa-apa dibuang ke laut,” jelas Koesrianti.

Batasan zat radioaktif

Menurut Koesrianti, terdapat batasan paparan radiasi oleh zat radioaktif dengan rujukan aturan dari AIEA. Untuk pengelolaan zat yang mengandung radioaktif dapat dilakukan dengan mencampur dengan semen. Pengelolaan tersebut untuk memudahkan penyimpanan karena butuh waktu ribuan tahun untuk membusuk.

“Tempat penyimpanannya juga harus yang aman agar tidak merugikan manusia dan merusak lingkungan,” papar Koesrianti.

Banyaknya negara yang menentang sikap Fukushima menurut Koesrianti adalah karena faktor komunikasi. “Komunikasinya tidak sampai. Jepang belum menjelaskan limbah itu masih mengandung zat radioaktif atau tidak. Selain itu terkait dengan Fukushima, traumanya masih membekas. Orang masih sensitif dengan Fukushima tahun 2011 lalu,” lanjutnya.

Menurut Koesrianti, perlu untuk memberikan informasi yang yang sesuai proporsi karena penyebutan hasil pengolahan limbah radioaktif masih rancu.

“Kita juga bingung penyebutannya, limbah dari limbah atau bagaimana, karena limbah itu (air yang dibuang) sudah diangkat zat radioaktifnya,” pungkasnya.

Sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia, Unair mendukung seluruh sivitas akademika untuk mengembangkan diri agar dapat berkontribusi kepada  masyarakat luas. Untuk mengetahui kiprah yang telah dilakukan Unair, kunjungi unair.ac.id. (*)