Baru-baru ini, salah satu sinetron berjudul Suara Hati Istri: Zahra tengah menjadi sorotan publik. Masyarakat menganggap sinetron tersebut secara tidak langsung melanggengkan budaya pernikahan dini dan mempertunjukkan aksi pedofilia. Sinetron yang tayang di Indosiar itu menceritakan poligami tokoh Pak Tirta yang memiliki tiga istri dengan istri ketiganya bernama Zahra berusia remaja. Usia aktris pemeran Zahra yang baru menginjak 15 tahun itu juga menjadi salah satu akar ramainya kritik terhadap sinetron tersebut.

Terlepas dari segala kritik publik, Prof Diah Ariani Arimbi, PhD, pakar Gender dan Kajian Budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (FIB Unair) menilai sinetron Zahra secara tersirat berhasil memancing kesadaran masyarakat bahwa permasalahan pernikahan dini memang masih ada dan terjadi di Indonesia.

Dosen yang kerap disapa Prof Diah itu menuturkan masyarakat perlu melihat bagaimana representasi perkawinan anak yang ditampilkan di dalam cerita itu terlebih dulu sebelum menganggap bahwa sinetron Zahra telah “mempromosikan” pernikahan dini. Menurut Prof Diah, apabila sang tokoh mengalami sedih, depresi, atau tertekan terhadap pernikahannya, konsep perkawinan anak terepesentasikan secara negatif dan mengandung pesan agar penonton tidak meniru pernikahan dini yang bersifat merugikan dan mengacaukan masa depan anak. Sementara itu, apabila sang tokoh justru merasa bahagia, cerita tersebut merepresentasikan citra positif.

“Namun, harus diingat juga kalau perkawinan anak, selain menyalahi UU perkawinan untuk batas usia, bisa menunjukkan adanya eksploitasi anak,” terangnya.

Sinetron Zahra

Terkait dengan usia pemain Zahra, dosen yang pernah menjadi dekan FIB Unair itu menilai pihak production house telah mengabaikan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perbedaan usia pemain antara Zahra yang masih anak-anak dan Pak Tirta sebagai orang dewasa, menurut Prof Diah, bisa berdampak pada perkembangan psikologis anak. Selain itu, adanya adegan romantis antar-keduanya juga menunjukkan adanya relasi kuasa, pemaksaan, dominasi, dan subordinasi.

“Adegan semacam itu bisa merepresentasikan eksploitasi terhadap anak-anak yang tidak hanya seksual, tetapi juga eksploitasi lainnya dan bahkan mungkin hubungan yang abusive,” tambah pengampu mata kuliah Teori Kajian Budaya Kontemporer itu.

Terakhir, dosen 51 tahun itu berharap sinetron Indonesia ke depannya mampu menampilkan cerita yang edukatif dan penuh dengan powerful message. 

“Kalau memang menceritakan poligami dan perkawinan anak-anak, buatlah seinformatif dan seedukatif mungkin,” tutupnya.

Unair sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia, mendorong seluruh sivitas akademika berkontribusi kepada masyarakat luas. Ingin mengenal Unair lebih dekat? Kunjungi laman unair.ac.id. (*)