Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim (Leaders Summit on Climate) 2021 pada 21 April 2021, Indonesia menyatakan mendukung dan akan ikut serta dalam United Nation Framework Convention on Climate Change – Conference of the Parties Ke-26 (NFCCC – COP 26) Glasgow.

Sebelum diselenggarakan pada November tahun nanti, Badan Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization) mengeluarkan laporan bahwa kemungkinan 40 persen suhu bumi akan naik 1,5 derajat celsius pada tahun 2025.

Menurut dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Unair Dr Eko Prasetyo Kuncoro ST DEA, kenaikan suhu bumi akan berdampak buruk bagi lingkungan, khususnya manusia. “Kenaikan temperatur ini akan menyebabkan pencairan es di kutub, muka air laut naik, kenaikan (suhu bumi) ini juga menyebabkan perubahan iklim,” terangnya.

Dr Eko menyebutkan bahwa perubahan iklim ini memiliki banyak konsekuensi. “Iklim yang semula stabil, waktunya hujan, ya hujan, kalau iklimnya berubah, nanti nggak jelas jadinya (iklimnya),” imbuhnya.

Menurut Dr Eko, ketidakjelasan ini akan menyebabkan peristiwa alam yang tidak dapat diprediksi seperti banjir, badai, La Nina, dan kekeringan serta konsekuensi lain yang berkorelasi.

Penyebab naiknya suhu bumi

Konferensi mengenai lingkungan banyak membahas mengenai pemanasan global. Menurut Dr Eko, penyebab dari pemanasan global adalah emisi karbon dioksida. “Emisi ini dihasilkan dari kegiatan manusia dan alam, misalnya penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan seperti fosil,” ungkap Dr Eko.

Ia juga menjelaskan bahwa emisi bahan bakar fosil mengeluarkan Co2 (karbon dioksida). Karbon dioksida sendiri memiliki kemampuan untuk menahan panas sehingga suhu akan cenderung naik.

Ia menambahkan bahwa penggunaan alat transportasi turut menambah emisi karbon. Bahkan, kegiatan dekomposisi degradasi dari limbah ikut menyumbang emisi karbon dioksida.

“Selain industri, pertanian, dan transportasi, apa pun yang melepaskan gas rumah kaca seperti Co2, CH4 (metana), nitrogen oksida ini yang berkontribusi dalam pemanasan global,” papar dosen pengajar di FST ini.

Menyeimbangkan bumi

Dalam kesempatan ini Dr Eko mengatakan bahwa pemanasan global merupakan peristiwa ketidakseimbangan di muka bumi. Ia menjelaskan bahwa gas rumah kaca yang terus terproduksi tertahan di atmosfer dalam jangka waktu lama.

“Produksinya terus-terusan degradasinya lama, jadi tidak seimbang antara laju produksi dan laju degradasi,” paparnya.

Menurutnya, untuk mengurangi gas rumah kaca di atmosfer ada dua cara yaitu clean up atau pembersihan dan preventif.

“Yang ada (gas rumah kaca) itu kita bersihkan, kita treatment, tapi yang lebih baik itu kita lakukan prevention,” terangnya.

Tindakan preventif yang dapat dilakukan menurut Dr Eko adalah menggeser bahan bakar yang dari fosil dengan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, perlu diperhatikannya pengelolaan sampah organik atau limbah lain yang mengeluarkan emisi karbon dioksida.

Potensi hutan untuk keseimbangan

Dr Eko mengatakan bahwa hutan yang dimiliki Indonesia memiliki potensi tinggi. Ini karena pohon dapat menyerap karbondioksida sehingga bagus untuk menjaga suhu bumi.

“Tumbuhan di hutan itu bagus, apalagi mangrove dapat menyerap karbon dioksida dan mengonversikannya ke dalam bentuk energi,” tandasnya.

Dr Eko berpesan, banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjaga suhu bumi, salah satunya dimulai dari diri sendiri. Misalnya menggunakan energi yang ramah lingkungan, efisien dalam menggunakan energi, menggunakan kendaraan umum, mengelola sampah dengan baik, dan menanam pohon.

“Mengubah kebiasaan lama dan pola pikir dari menangani limbah yang ada tetapi menjadi mencegah limbah terbentuk,” tutupnya.

Unair sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia, mendorong masyarakat untuk peduli pada lingkungan. Untuk mengetahui kiprah Unair di masyarakat, kunjungi laman unair.ac.id. (*)