Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim menyatakan bahwa pembelajaran tatap muka (PTM) akan dimulai pada Juli 2021. Hanya saja, sampai saat ini, angka konfirmasi positif Covid-19 terus melonjak di beberapa daerah.

Menanggapi hal tersebut, pakar biostatistika epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr Windhu Purnomo dr MS menuturkan, kebijakan tersebut hendaknya ditinjau ulang. Hal itu karena saat PTM dibuka akan terjadi mobilitas yang dilakukan oleh para siswa. Padahal, mobilitas yang tidak terkontrol di tengah pandemi berisiko tinggi terjadi penularan virus.

“Jadi, kalau nekad melakukan pembukaan PTM, kita sengaja membuat para siswa bergerak ke sekolah. Kemudian di sekolah, mereka berinteraksi dengan orang lain dan yang paling berbahaya adalah saat di perjalanan dari rumah ke sekolah kemudian pulang dari sekolah menuju rumah. Justru itulah yang berisiko tinggi,” jelas Windhu pada Jumat sore (18/6/2021).

Windhu yang merupakan salah satu inisiator Tim Advokasi PSBB & Surveilans Covid-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair itu mengungkapkan, kebiasaan kegiatan siswa yang bergerombol juga memiliki risiko. Seperti perilaku siswa yang mungkin akan sering pulang dengan berbondong-bondong dan beramai-ramai singgah di suatu tempat sepulang sekolah menyebabkan sangat berisiko tertular virus. Ini terutama bagi siswa yang menggunakan kendaraan umum sebagai alat transportasi.

Baginya, PTM tidak sekadar masalah siswa dan sekolah, tetapi juga masalah keluarga di rumah dan lingkungan sekitar di luar sekolah.

“Anak-anak usia di bawah 18 tahun itu relatif imunitasnya baik. Kecuali bila mereka punya komorbid, itu yang bisa berisiko meninggal ketika mereka (anak-anak) tertular yang punya kelainan bawaan saat lahir dan seterusnya. Secara umum, anak-anak itu lebih sehat. Kenapa? Karena daya tahan tubuh mereka relatif lebih bagus karena masih muda,” ucap Windhu.

“Jika tertular mungkin hanya sakit ringan atau tanpa gejala, tetapi mereka akan membawa virusnya pulang ke rumah. Padahal, yang ada di rumah mungkin ada bapak-ibu atau kakek-neneknya yang umurnya sudah di atas 60 tahun, mungkin ada kerabat atau kakaknya yang mempunyai komorbid,” tambahnya.

Windhu menegaskan, jika pemerintah ingin membuka PTM harus melihat kondisi epidemiologi terlebih dahulu, tidak cukup melihat peta zonasi risiko yang ada. Pasalnya, jumlah kasus positif yang dilaporkan selama ini diestimasi maksimum hanya seperdelapan dari kasus real yang ada. Adapun syarat lain, seharusnya angka positivitas tidak boleh lebih dari 5 persen.

“Lihat kondisi epidemiologi, angka positivitas saat ini belum di bawah 5 persen. Angka positivitas Indonesia beberapa hari terakhir ini pernah 33 persen, itu tinggi banget, dari 100 orang yang diperiksa 33 orang positif. Bayangkan, luar biasa menakutkan,” tegas Windhu.

Tidak hanya itu, Windhu juga menerangkan bahwa hak anak juga harus diperhatikan. Dalam konvensi hak anak, terdapat empat hak yang dimiliki anak, yaitu hak untuk kelangsungan hidup, isinya adalah hak untuk hidup dan hak untuk sehat; baru setelah itu hak memperoleh perlindungan; hak tumbuh kembang, di dalamnya ada pendidikan dan hak berpartisipasi.

Dengan begitu, dasar keputusan membuka PTM, sambungnya, harus sains, dalam hal ini adalah ilmu kesehatan masyarakat, ilmu epidemiologi, dan ilmu penyakit menular. Melihat data epidemiologi terlebih dahulu, jika aman, barulah dapat dilakukan PTM.

Windhu juga menekankan kepada masyarakat untuk selalu mendengarkan para ahli kesehatan masyarakat, para organisasi di bidang kesehatan, para dokter ahli kesehatan anak dan Kementerian Kesehatan.

Unair sebagai salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia, mendorong masyarakat untuk peduli pada kesehatan lingkungan. Untuk mengetahui kiprah Unair di masyarakat, kunjungi laman unair.ac.id. (*)